Selamat datang

Selamat memasuki Blog ini
Tuhan berikan kita banyak sekali kenikmatan, salah satunya adalah berfikir. Sebagai
rasa syukur kita kepada-Nya Blog ini dibuat,agar dapat membagi dan menerima
pemikiran banyak orang.

Rabu, 27 Februari 2008

Seputar e-gov di Indonesia

Menyimak respon dan tanggapan kalangan pernerintah seputar e‑government. Awalnya, banyak dari mereka yang tidak paham akan arti sebenarnya e‑government. Ada semacam distorsi pemaknaan. e‑government dimaknai tak lebih dari kehadiran sebuah website. Perkembangan selanjutnya, seiring perjalanan waktu, dengan banyaknya seminar dan diskusi, turunnya panduan e‑government yang menindaklanjuti Inpres No. 3/2003 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan E‑government, sedikit demi sedikit mereka mulai 'memahami'. Kecanggihan teknologi sudah sepatutnya digunakan sebagai sarana/alat/media untuk memberikan layanan publik yang berkualitas kepada masyarakat. Sehingga istilah, "kalau bisa dipersulit mengapa dipermudah" Sudah tidak zamannya lagi digunakan. Apalagi penguasa bukanlah raja, justru publiklah yang berhak ditempatkan sebagai raja yang semestinya mendapatkan pelayanan prima.

Hanya saja, sebuah pemahaman dan pengetahuan semata tidaklah cukup. Komitmen yang kuat, menjadi motor penggerak utama. Pasalnya, e‑government menuntut adanya change management, sebuah perubahan budaya, Bukan perkara mudah mengubah pola kerja seorang staf yang sudah puluhan tahun hanya mengandalkan kertas dengan pena dan mesin tik manual merek “brother” dalam bekerja, secara tiba‑tiba diminta menggunakan komputer. Maka persoalannya kembali lagi, ya itu tadi, tak Iuput dari pemahaman kalangan pernerintah seputar e‑government yang masih rendah.

E‑Govemment Indonesia Mencari Jati Dirinya
E‑government. Sebuah kata yang sedang bergaung di Indonesia, entah di pemerintah pusat maupun daerah. Selain bertenger di salah‑satu agenda pembangunan, yang tidak kalah seru adalah bagaimana pernerintah baik pusat maupun daerah merespon e­-government. Bila e‑government dilbaratkan seorang bocah ada yang masih berbentuk bayi dalam kandungan, ada juga yang masih belajar merangkak, bahkan ada yang tengah bersiap‑bersiap untuk lari kencang. Lebih lucunya, ada bayi yang bingung hendak ke mana ia akan berjalan. (Indrajit dalam Andy Zoeltom-Faizah Rozy, 2004:5)

Memang, tidak dapat dipungkiri, sejak pernerintah menekankan pentingnya e‑government sebagai sarana untuk menuju good governance, respon yang muncul beragam. Akibatnya implementasinya juga sangat variatif. Sebut saja, Ditjen Pajak. Lembaga di bawah Departemen Keuangan ini telah menerapkan e‑government dalam bentuk Monitoring Pembayaran Pelaporan Pajak (MP3) Melalui sistem ini, setiap pembayaran pajak yang dilakukan melalui bank dan kantor pos yang ditunjuk (Bank Persepsi) akan segera dilaporkan ke Ditjen Pajak. Dengan cara kerja seperti itu, Ditjen Pajak dapat mengetahui data‑data mengenai penerimaan negara berupa pembayaran pajak secara realtime online. Sementara bagi Wajib Pajak (WP), proses pembayaran pajak jadi lebih cepat dan akurat. Sementara itu, Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (KUKM), tengah menata sistem data base UKM Selanjutya, database dijadikan pijakan untuk penerapan sistem teknologi jaringan terpadu sehingga sentra di bawah naungan mereka terkoneksi. Otomatis, terobosan ini membuat aliran dana untuk UKM bisa dipantau hingga ke penerima. Namun Jaringan ini baru mencakup sebagian sentra, belum seluruhnya.

Departeman Permukiman dan Prasarana Wilayah (Depkimpraswil) juga berbenah. Departemen yang dulu dikenal sarat KKN ini, kini menerapkan lelang semi e‑procurement. Sebagian proses lelang dilakukan melalui internet secara interaktif antara Depkimpraswil dan para pengikut lelang, dan sebagian proses lagi masih dilakukan secara tatap muka. e‑procurement membuat proses tender berjalan lebih transparan. Alhasil, cara ini diharapkan bisa mengurangi peluang KKN, mark‑up, maupun pengaturan lelang dan sejenisnya.

Bagaimana e‑government di daerah? Sejumlah daerah yang memiliki APBD berlimpah, telah membangun infrastruktur e-government secara lengkap. Sebut saja Kutai kartanegara. Kabupaten di Kalimantan ini, telah menggelontorkan dana miliaran rupiah untuk membangun Sistem Pelayanan Satu Atap. Begitu pun dengan Takalar, Semarang, Sidoharjo, dan sebagainya. Sementara Pulau Sumatera, tengah mencanangkan Sumatera Online untuk mengintegrasikan sembilan propinsi dalam satu atap.,Jawa Barat dengan web integrasinya,dan banyak lagi yang lain.

Meski sebagian instansi pemerintah dan daerah tengah memacu diri menerapkan e‑government, toh bukan berarti semuanya melakukan hal demikian. Masih banyak instansi atau daerah lain, yang masih terlelap dengan tidurnya. Tengoklah kawasan Indonesia Timur seperti NTB, NTT, dan Irian. Boleh jadi, gebyar e-government belum semarak. malahan, ada juga daerah yang belum memiliki website.

Berdasarkan data dari ICT Watch. Terdapat 468 Pernerintah Daerah (pemda) tingkat propinsi, kabupaten/kota di Indonesia, tetapi baru 214 pemda yang telah memiliki situs web sebagai tahap pertama pembangunan e‑gov Dari 214 situs tersebut, 186 buah dapat dibuka, sedangkan 28 buah sisanya tidak dapat dibuka (under construction / not found). Adapun Pemda propinsi, kabupaten/kota yang telah memiliki situs‑web
  • 80%‑100% DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Jawa Timur, dan Bali
  • 60%‑79% Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Kalimantan Timur
  • 40%‑59% Sumatera Barat, Riau, Banten, dan Sulawesi Utara;
  • 20%‑39% Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Gorontalo, dan Sulawesi Selatan
  • 1%‑19% Nanggro Aceh Darussalam, Jambi, Bengkulu, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Papua, dan Maluku Utara.
  • 0% Bangka Belitung, dan Maluku.

Dari gambaran potret di atas, e‑government dimaknai dari berbagai sisi. Ada yang memandang e‑government sebatas menampilkan informasi yang dapat diakses melalui media bernama internet. Ada yang telah membangun sistem informasi di internet dan melakukan layanan melalui media yang sama. Tapi ada juga yang mengimplementasikan e‑government dengan mengadakan perubahan dari segala bidang. Mulai dari kesediaan mengubah paradigma dan berani bertindak transparan. Memberikan pelayanan publik yang sebalk‑baiknya menjadi tujuan mereka. Namun ada instansi maupun pemda yang belum berbuat apa‑apa.

e‑government di Indonesia Hanya Sebatas Ada
Bila diukur dari tahapan aplikasi e‑government, apa yang terjadi sekarang berada dalam tahapan ke berapa? Seperti diketahui, tahapan e‑government dibagi dalam empat tahapan. Pertama, present. Media internet dijadikan sarana penyampaian informasi publik secara pasif dari pemerintah kepada masyarakat. kedua, interaksi. Tahap ini sudah memungkinkan terjadinya komunikasi antara pemerintah dengan mereka yang berkepentingan melalui teknologi semacam intranet dan fasilitas multimedia. Ketiga, transaksi. Artinya interaksi dibarengi dengan sebuah transaksi yang berhubungan dengan perpindahan uang. Terakhir, adalah transformasi. Pada tahap ini, kehadiran teknologi informasi tengah mengakibatkan terjadinya perubahan atau driver change. Wujudnya telah terjadi integrasi pada level proses, data dan teknologi dan pemerintah telah membuka diri untuk semua entiti.

Nah, bila mengacu pada 4 tahapan di atas, e‑government di Indonesia masih dalam tahap pertama. Setidaknya ini diakui oleh Pakar e‑government Kominfo, Djoko Agung Harijadi. "Banyak kendala, membuat kita masih berada pada tahap webpresent saja," tandasnya. Apa yang dikatakan Djoko setidaknya juqa disokong dari hasil penelitian yang digelar Kominfo. Disebutkan bahwa hanya sebagian provinsi, kabupaten dan kota yang telah mengimplementasikan e‑government.Indikatornya, hanya 49,9% dari pemerintah provinsi, kabupaten dan kota yang memiliki website.

Selanjutnya dari prosentase tersebut, baru 21 yang melayani pembuatan KTP dan KK. Sebanyak 22 telah memberikan layanan pembuatan akta kelahiran, kematian dan perceraian. Sementara pembuatan IMB sebanyak 32 website, yang memberikan ijin usaha berjumlah 14 website, untuk tambang galian C sebanyak 7, layanan Iklan 25 website sedangkan perdagangan baru mencapai 20 website. Untuk kategori instansi pemerintah, dari 60 website yang ada, baru 12% yang memiliki perencanaan. (Sumber : Warta ekonomi 2006)


Kita Tertinggal dari Negara lain,Kenapa Tidak ?
Penerapan e‑government di Indonesia masih jauh dibandingkan dengan negara lain. Tidak usah jauh‑jauh. Singapura, misalnya. Pemerintahan Negeri Singa ini sudah memanfaatkan internet untuk penyampaian informasi. Lebih jauh lagi, pemerintah dengan dukungan warganya, sudah menggunakan dunia maya sebagai sarana untuk interaksi dan bertransaksi. Melalui program e‑government, pemerintah dapat melakukan penghematan sebesar US$40 sampai dengan US$400 per transaksi. Komitmen pemimpin nasional yang kuat menjadi salah‑satu kunci sukses Singapura dalam implemetansi e‑government. Selain itu, para pernimpin mempunyai sasaran yang jelas sehubungan apa yang hendak dicapai berikut strategi yang digunakan untuk melakukan kaji ulang tata laksana pernerintahan (reinventing the government) sehingga terjadi kejelasan jenis pelayanan publik secara online yang akan dilaksanakan. Kesiapan masyarakat Singapura untuk menyarnbut e‑government juga menjadi salah‑satu faktor penentu.

Selain Singapura, negara lain yang tercatat memiliki layanan online terbanyak adalah Amerika Serikat. Negeri Paman Sam ini, tengah fokus di sektor government to business. Artinya, tahap ke tiga sudah terlewati. Tentunya, terobosan ini sudah dibarengi dengan peraturan perundang‑undangan yang menyangkut hukum di dunia maya.

Bila dicermati, ada beberapa cara yang dilakukan government di luar negeri untuk membangun dan menerapkan e‑government. Salah satunya menempatkan pemerintah sebagai pelaku utama, atau dikenal dengan Government Leid Model. Infrastruktur teknologi dibangun oleh pemerintah. Selanjutnya, pemerintah juga bertanggung jawab untuk membentuk kebijakan sekaligus mengimplementasikannya. Langkah seperti ini dilakukan oleh Amerika dan Singapura.

Sementara cara Iain, adalah kebalikan dari langkah yang ditempuh Amerika dan Singapura. Pemerintah tidak terlibat dalam pembangunan infrastruktur. Tugas ini di‑handle oleh swasta Selanjutnya, pemerintah lebih berkonsentrasi untuk membentuk content dan kebijakan. Malaysia dan Inggris, menerapkan cara tersebut.

E-Gov di Indonesia Kendalanya banyak sekali
Sebagai warga Negara yang baik, tidak fair membandingkan antara Indonesia dengan negara‑negara tersebut. Ini mengingat bahwa e‑government di negara kita baru start lima tahun terakhir. Sementara, negara‑negara maju itu menerapkan pernerintahan secara elektronik jauh sebelumnya. Belum lagi respon masyarakat terhadap kehadiran TI sangatlah berbeda. Bagi masyarakat luar, akses internet sudah menjadi kebutuhan primer mereka sehari‑hari. Sebaliknya, masyarakat kita masih jauh dari TI kalau enggan dibilang gagap teknologi. Kesiapan masyarakat turut menjadi salah kendala.

Bila dibedah lebih mendalam, banyak kendala mengapa penerapan e‑government di Indonesia masih tertatih‑tertatih. Pertama, peraturan seputar e‑government yang masih lemah. Pemerintah baru menelurkan Inpres Presiden No. 3 tahun 2003 tentang kebijakan dan strategi pengembangan e‑government. Itu pun baru diluncurkan belum lama ini. Dari Inpres bertanggal 9 juni itu baru ada satu juklak yang diturunkan yakni standarisasi penerapan e‑government. Sementara UU Cyberlaw yang ramai diributkan hingga kini juga belum ada. Alhasil, tahapan e‑government ke tiga, yakni transaksi menjadi terhadang. Kaitan Inpres di atas, masih diperlukan Undang‑Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang dapat menjadi landasan hukum untuk setiap transaksi. RUU ITE telah selesai disampaikan oleh (Saat itu Kementerian Kominfo) Kepada Presiden melalui Sekretaris Negara untuk diagendakan pembahasan dengan Dewan Perwakilan Rakyat. RUU ITE tersebut merupakan gabungan antara RUU yang dilajukan oleh tim Fakultas Hukum Universitas Padjajaran dan tim Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Selanjutnya Kementerian Komunikasi dan Informasi akan mengeluarkan 10 dokumen tentang petunjuk pelaksanaan (Juklak) e‑gov di Indonesia. juklak tersebut untuk mendukung implementasi Inpres no. 3/2003 tentang e‑gov. Kesepuluh juklak, tersebut adalah tentang (1) standar infrastruktur portal pernerintah. (2) e‑record management, (3) standar mutu, (4) jangkauan pelayanan & pengembangan aplikasi, (5) kebijaksanaan kelernbagaan otorisasi, (6) pertukaran Informasi,keikutsertaan swasta (8) kebijakan pengembangan pernerintahan yang baik & manajemen perubahan, (9) kebijakan pendidikan, pelaksanaan proyek & penganggaran serta (10) panduan penyusunan rencana induk pengembangan e‑ lembaga. Saat ini di bawah Presiden SBY dan Kementrian Komunikasi dan Informasi berubah menjadi Departemen Komunikasi dan Informatika, mentrinya juga sudah diganti, e-gov di Indonesia belum mengalami perubahan yang signifikan.

Kedua, soal SDM. Banyak sisi SDM yang menjadi kelemahan penerapan e‑government. Yang paling menonjol adalah belum siapnya SDM di kalangan pemimpin baik di tingkat pusat maupun daerah. Ini ditandai dengan belum adanya pemahaman yang tepat mengenai esensi e‑government. Seperti diungkapkan Syamsul Mu'arif (mantan menteri Kominfo) "Membuka wacana para pemimpin ini yang paling sulit," tandasnya. Sikap seperti ini diperparah dengan pola pikir yang ego sektoral. Semuanya dilihat darl kepentingan masing‑masing lembaga pemerintah maupun pemda. Sikap seperti ini membuat ketidakharmonisan pemahaman tentang e‑government sehingga pada tataran berikutnya dapat memunculkan implementasi e‑government yang sporadis dan berdiri sendirl ‑sendiri.

Kendala lain dari sisi SDM adalah minimnya tenaga TI di pemerintahan plus kemampuan mereka yang masih rendah. Berdasarkan catatan di BPS 2005-2006, jumlah pranata komputer (SDM TI di pernerintahan) hanya 703. Dari jumlah yang tidak seberapa itu, tidak ada satu pun yang menduduki posisi tertinggi yakni PK Utama Madya. Kebanyakan dari PK masuk dalam kategori jabatan menengah ke bawah. Tidak heran, sejumlah pemda tidak bisa mengoperasikan TI lantaran tidak memiliki SDM TI yang profesional. Minminya pengetahuan seputar TI di pernerintahan kerap dimanfaatkan oleh vendor untuk menawarkan produk. Sehingga banyak sistem informasi yang dibangun menjadi terbengkali. Seperti kasus yang terjadi di Kota Padang. Sistem Informasi Kependudukan dan SIMTAP tidak bisa dijalankan, akibat Ulah vendor yang hit and run.

Ketiga, adalah ketersediaan infrastuktur. Dilihat darl akses telekomunikasi, dalam hal ini telepon, masih belum sepenuhnya ada. Dari sekitar 66.778 desa, baru 23.756 yang memiliki Jalur telepon. Artinya, baru sepertiga desa yang ter‑cover. Padahal, keberadaaan akses telekomunikasi menjadi elemen yang turut memuluskan penerapan e‑governinent. Bagaimana masyarakat mau mengakses kalau telepon belum ada. Sebaliknya, para vendor e‑government berserak di mana‑mana.

Di tengah kendala yang masih menghadang, tentunya kita tidak boleh mensikapinya dengan pesimistis. Seperti dikatakan Syamsul Muarif (Mantan Menteri Kominfo), "Kondisi yang ada harus lebih memacu kita untuk melakukan perbaikan dan melangkah ke depan." Suatu ajakan yang patut didengar oleh semua pihak. Sayang kalau hanya masuk ke kuping kanan dari ke Luar kuping kiri.

Hambatan e‑Gov di Indonesia (menurut beberapa sumber)

  1. Budi Rahardjo MSc. PhD (dosen ITB dan penulis buku TI)
  • kultur berbagai informasi belum ada
  • Kultur mendokumentasi informasi belum Lazim
  • Kurangnya SDM TI yang handal di pernerintahan
  • Infastruktur telekornunikas yang belum memadai (mahal dan tidak merata)
  • Tempat akses informasi yang belum memadai

2. Gempar Ikka Wijaya (Jurnalis dan kolumnis TI)

  • Sistern rekrutmen pegawal di Pemda yang masih tidak transparan dan belumm bebas KKN
  • Banyaknva oknum pemda yang akan tersisih atau dirugikan dengan keberadaan e‑gov (masalah penghasilan luar gaji)
  • Proyek Pemda terancam hanya berusia pendek yaitu 4‑5 tahun. sesuai dengan jabatan bupati/walikota maupun Gubernur
  • Keterbatasan pengetahuan SDM di Pemda akan mengakibatkan banyak pihak/vendor menawarkan solusi e‑gov yang mahal tetapi kurang bermanfaat
  • Infastruktur telekomunikasi yang belum memadal (mahal dan tidak merata)
  • Pemda membangun sendiri‑sendiri aplikasil e‑gov menurut versi mereka. tanpa memperhatikan konsep integrasi dan interkoneksi antar Sistern informasi.

3. Manuel Diaz Rosano (Staf Kantor Pengelolaan Data Elektronik Kota Bekasi dan Pengelola Situs http://www.kotabekasi.go.id/)

  • Pembangunan e‑gov terlalu mengejar pembangunan Intrastrukturnva saja. Dari pada pengembangan SDM maupun perubahan budaya
  • Insentif bagi pengelola e‑gov sangat rendah, tidak sebanding, dengan pekerjaan
  • Kebijakan Pemda dan DPRD yang sering beruhah‑uhah, pemahaman tentang TI yang masih rendah. keinginnan memperoleh hasil yang instan sehingga IT dianggap sebagai pemborosan
  • e‑gov sering dimantaatkan oleh vendor/konsultan tertentu untuk menawarkan proyek pada pengambil kebijakan demi keuntungan sesaat dengan memanfaatkan vendor ternama sebagai tameng.
  • Masalah koordinasi yang tidak pernah tuntas, masing‑masing instansi membuat sistern sendiri yang akhirnya tidak dapat diintegrasikan
  • Budaya manual yang masih hinggap di birokrasi, karena terkait dengan ancaman minimnya insentif yang diterima. sehingga kornputerisasi dianggap menjadi ancaman
  • kesenjangan pemahaman IT antara pimpinan dengan bawahan atau antara bupati/walikota dengan kepala dinas
  • Infrastruktur telekomunikasi yang belum mendukung terutama di daerah
  • Vendor/konsultan tidak serius menangani SDM, sehingga begitu selesai proyek dianggap selesai pula pekerjaannya. Akibatnva alat yang telah terpasang menjadi menganggur bahkan terkadang dikanibal untuk hal lain
  • Isu e‑gov juga menjadi modus baru untuk melakukan tindak korupsi, karena nilai jasanya tidak terukur seperti pada proyek yang lain. Jika Pemerintah pusat sedang / sudah mengeluarkan standar teknisnya belum tentu haslinya bisa disamaratakan antar daerah

SUMBERDAYA MANUSIA DALAM PELAKSANAAN E-GOV

Diar Cahdiar
27 Februari 2007
Latar Belakang
Mitos abad 21 sebagai momentum perubahan dunia semakin empirik. Seluruh bangsa makin terdorong untuk mengambil bagian dalam percaturan global, karena itu penyesuaian-penyesuaian secara kultural maupun struktural setiap bangsa menjadi suatu konsekuensi logis yang tak terelakkan. Secara struktural, ini bisa terlihat dari implikasi berubahnya sistem politik karena demokrasi dan hak azasi manusia sudah menjadi isu global. Kontrol dunia atas pelaksanaan kedua isu tersebut semakin ketat. Sementara itu, budaya global juga mulai terbentuk melalui dominasi budaya Barat yang penuh nuansa materialisme. Transmisi budaya materialisme yang dipercepat dengan revolusi teknologi informasi merupakan kenyataan yang tak terhindarkan.

Dalam era ini, tidak bisa dihindarkan bahwa audit pemerintahan menjadi suatu dimensi global. Sehingga ini sering dinamakan era globalisasi. Maksudnya, bahwa dunia (globe) kita ini sudah menjadi satu sistem yang saling terkait, yang tidak terpisah-pisahkan oleh batas politik, geografi, ekonomi dan sebagainya.

Dinamika zaman dalam konteks kekinian tercitrakan melalui kemajuan teknologi informasi dan globalisasi, yang membawa konsekuensi logis akan terciptanya suatu percepatan lalu lintas produk informasi yang secara signifikan akan berpengaruh terhadap sikap mental suatu bangsa, karena itu eksistensi bangsa akan sangat tergantung dari sikap dan kepribadian bangsanya. Pemerintah daerah sebagai salah satu sub-sistem dari sistem dan totalitas masyarakat bangsa Indonesia dituntut untuk senantiasa harus bersifat korektif dan proaktif dalam melihat posisi dirinya secara jujur di tengah-tengah masyarakat yang senantiasa mengalami perubahan. Dengan demikian kehadiran pemerintah daerah dapat menjadi faktor positif dan dominan dalam setiap proses perubahan dan perkembangan masyarakat. Dalam hal ini, pemerintah daerah ditantang untuk dapat mengambil peran dan melaksanakan aktivitasnya yang paralel dengan dinamika masyarakat dan tuntutan zaman.

Teknologi Informasi telah memberikan jalan baru pada banyak hal, baik dalam ruang lingkup bisnis, administrasi pemerintahan, perilaku masyarakat, dan bidang lainnya. Pesatnya kemajuan teknologi, khususnya teknologi informasi dan komunikasi (TIK), telah banyak mengubah paradigma pelayanan publik konvensional yang berskala lokal/nasional menjadi sistem global. Salah satu implementasi TIK untuk mendukung pemerintah dalam menjalankan fungsi kepemerintahannya adalah e-government. e-government ini merupakan pintu bagi pemerintah memasuki dunia gobal.

Karenanya, pintu yang dibuka oleh globalisasi memaksa pemerintah main ”fair”. Hal itu dengan sendirinya akan mendesak pemerintah memakai cara terbuka pula. Pintu itu menjadi pintu persaudaraan, tetapi sekaligus juga pintu kontrol atas pemerintah. Pintu semacam itu dapat menguntungkan pemerintah, dapat pula mengancam pemerintah. Namun pemerintah tidak dapat mengingkari keharusan untuk membuka pintu penyelenggaraan pemerintahan, apabila tidak mau menjadi "katak dalam tempurung" pergaulan internasional.

Tampaknya dari sejumlah hal-hal yang kritis di Indonesia tentang pergumulannya di era global adalah bahwa implementasi sejumlah teknologi informasi bisa malah merugikan. Asumsi ini bisa masuk akal bila tak ada perbaikan dalam infrastruktur dan peraturan-peraturan lokal. Kecemasan seperti itu memang tidak bisa dihindari karena selain perlu kesiapan mental tetapi lebih penting lagi kesiapan aparatur pemerintah yang mengendalikan e-government sehingga tidak malah merusak dan membuat penderitaan masyarakat yang tidak mengenal teknologi informasi.


Pengembangan Sumberdaya Manusia Era E-Government
Realitas abad 21 yang demikian membawa sejumlah implikasi bagi dunia pemerintahan. Ini karena pemerintah yang bertugas menjadi pengayom masyarakat diniscayakan untuk senantiasa melakukan perbaikan-perbaikan sumberdaya secara komprehensif. Salah satu pendekatan kritis dan strategis untuk memasuki era globalisasi ini melalui peningkatan sumberdaya manusia.

Dalam kerangka globalisasi, penyiapan pendidikan juga perlu disinergikan dengan tuntutan kompetisi. Karena itu, dimensi daya saing dalam sumberdaya manusia kelak semakin menjadi faktor penting sehingga upaya memacu kualitas sumberdaya manusia melalui pendidikan merupakan tuntutan yang harus dikedepankan. Ini patut diperhatikan, karena menurut World Competitiveness Report daya saing sumberdaya manusia Indonesia terpuruk pada urutan ke-45, di bawah Singapura (8), Malaysia (34), Cina (35), Filipina (38), dan Thailand (40). Padahal negara-negara tersebut merupakan kompetitor potensial kita kelak, sejalan adanya anggapan bahwa Asia Timur dan Tenggara akan menjadi kekuatan dunia.

Kesiapan sumberdaya manusia di pemerintahan untuk secara konsekuen dan komitmen penuh untuk menjalankan dan mensukseskan e-government untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemerintahan merupakan faktor terpenting dari kesuksesan implementasi e-government. Tanpa kesiapan sumberdaya manusia di kalangan pemerintahan maka penyelenggaraan e-government akan berakhir dengan kegagalan. Untuk itu sebelum implementasi e-government perlu ditumbuhkan kesadaran dalam diri sumberdaya manusia pemerintah akan arti pentingnya implementasi e-government.

Karena itu, sumberdaya manusia pemerintah dalam menjalani era globalisasi harus disiapkan sejak dini, sehingga dapat memecahkan problem-problem teknologi yang sebenarnya merupakan akumulasi dari ketertingggalan teknologi bangsa ini pada abad 20. Problem yang bersumber dari gagap teknologi itu telah menyebabkan munculnya masyarakat yang teralienasi, gejala anomie, serta produk IPTEK yang mendestruksi tatanan kehidupan.

Dalam konteks ini, pemerintah daerah perlu mengorientasikan pemberdayaan sumberdaya manusianya pada pengembangan kualitas sumberdaya manusia dengan mencermati pelbagai prespektif, kecenderungan dan isu-isu berdimensi lokal, nasional, regional dan global. Pergerakan roda transformasi ini, tentunya, disertai keawasan visi, ketepatan, kejelian dan kecermatan serta kearifan memahami rancangan isyarat-isyarat zaman. Sehingga, ketika pemerintah daerah meracik visi, interpretasi, persepsi dan orientasi yang ditindaklanjuti melalui kebijakan publik melahirkan sikap pro-aktif, kritis, kreatif dan inovatif untuk membuka kesempatan baru dari setiap dinamika zaman.

Pemerintah perlu secara agresif untuk membudidayakan berbagai teknologi tinggi yang bernilai strategis di masa depan. Walaupun teknologi-teknologi tersebut perlu digarap secara aktif dengan dukungan personel dan dana yang tidak kecil. Penguasaan teknologi mutakhir di masa depan adalah upaya yang luar biasa dan ambisius. Namun, hal itu tidak ada salahnya, karena teknologi-teknologi tersebut layaknya akan menjadi pilar-pilar kejayaan bangsa. Pertanyaan yang sering dilontarkan oleh masyarakat adalah apakah proses itu efektif dan efisien. Efektif artinya memiliki sistem kontrol yang cukup sehingga tujuan besar dan ambisius itu pada akhirnya dapat tercapai. Efisien artinya apakah proses pertumbuhannya cost-effective, kompetitif, dan dapat segera memberikan keuntungan.

Berkaitan dengan hal ini, maka Pemerintah Daerah dituntut untuk mencetak sumberdaya manusia unggul yang bertugas mengkonstruk ilmu pengetahuan dan teknologi yang secara empirik terbukti sebagai kekuatan bagi efektiftivitas, efisiensi, dan produktiftivitas dalam konstruksi pemerintah sebagai pelayan publik.


Peran Pendidikan Tinggi
Pendidikan sangat signifikan terhadap rekonstruksi peradaban abad 21, mengingat pendidikanlah yang akan membentuk karakter sumberdaya manusia yang akan hidup dan berperan pada abad 21. Pendidikan merupakan kegiatan investasi sumberdaya manusia untuk menopang dan mengusung pembangunan, karena bagaimanapun pembangunan membutuhkan kualitas sumberdaya manusia yang unggul baik dalam kapasitas penguasaan IPTEK maupun sikap mental sehingga dapat menjadi subyek atau pelaku pembangunan ekonomi yang andal.

Dalam pada itu, timbulnya kesadaran akan pesatnya tingkat perkembangan iptek, makin singkatnya waktu pelipatgandaan informasi keilmuan dan teknologi, makin berkembangnya paradigma dalam ilmu-ilmu kemanusiaan guna menilai pemaknaan dan fungsi ilmu pengetahuan dan teknologi, dan bahkan makin derasnya arus globalisasi yang membawa pluralisme nilai-nilai, yang pada akhirnya mendorong terhadap penataan pola pendidikan yang terkonsepsi secara lebih jelas dan jernih, baik yang berkaitan dengan filosofi referensinya, substansi, etika, metodologi, sasaran, sistem dan mekanismenya maupun penelitian dan pengembangannya.

Kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut perlu diantisipasi secara nyata dalam kurun waktu mendatang dan direncanakan secara mantap untuk menghadapi perubahan berikutnya. Cepatnya pelipatgandaan informasi keilmuan yang akan terjadi di awal abad baru ini akan menyebabkan program-program pendidikan akan cepat kadaluarsa dan menjadi hambatan serta tantangan besar bagi lembaga pendidikan tinggi yang sedang berkembang. Dengan demikian pendidikan tinggi harus dapat berkembang seiring dan sejalan dengan kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di dunia.

Dalam menghadapi era globalisasi yang penuh dengan berbagai peluang, tantangan dan ancaman, maka harus dihadapi dengan peningkatan sumberdaya manusia yang mempunyai keuletan, efisiensi, ketahanan mental, dalam konteks peningkatan kerja dan kinerja keilmuan maupun profesionalismenya. Semua potensi itu harus digerakkan secara utuh, menyeluruh dan tepadu dengan konsepsi yang matang dengan dilandasi kemandirian. Karena itu perlu dikembangkan suatu format pendidikan yang mampu mengintegrasikan antara ilmu keagamaan, teknologi, bisnis dan ilmu-ilmu kemanusiaan.

Pentingnya perguruan tinggi sebagai pusat pemikiran dan pengkajian ilmu pengetahuan dan teknologi akan menjadi lebih menonjol terutama setelah disadari banyaknya fenomena aktual yang baru saja terjadi namun belum mampu dijelaskan secara komprehensif. Banyaknya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dipahami memungkinkan pendidikan tinggi dapat melihat jauh ke depan dan turut membentuk masa depan, sekalipun akan lebih banyak lagi fenomena baru yang muncul yang perlu dimengerti seluk-beluknya.

Namun, nampaknya di dunia pendidikan Indonesia sosialisasi etika masih bersifat parsial dan ambivalen. Di satu sisi diajarkan etika melalui pelajaran agama dan Pendidikan Pancasila, di sisi lain pengajaran IPTEK lainnya lepas dari konteks etika tersebut. Pemisahan dunia "etika" dan "rasional" ini dapat menjadi bentuk "sekulerisme baru" yang nampaknya belum disadari. Oleh karena itu, dalam merekonstruksi peradaban yang beretika perlu upaya dekonstruksi IPTEK yang kemudian diikuti dengan rekonstruksi paradigma pengembangan IPTEK yang kembali menjunjung tinggi etika.

Dalam rangka modernisasi bangsa-bangsa di dunia, konstruksi IPTEK yang demikian telah lepas dari kritik epistemologis. Artinya, IPTEK yang diproduksi diterima dan dipraktekkan begitu saja demi "kemajuan", tanpa sikap kritis terhadap landasan epistemologi maupun dampak "kemajuan" tersebut. IPTEK telah dianggap netral dan bebas nilai. Paradigma IPTEK ala positivisme ini telah mengabaikan dimensi etika dan moral dalam konstruksi IPTEK. Dan, ternyata paradigma yang demikian cukup kental di dunia pendidikan kita dan belum ada langkah sistematis untuk melakukan dekonstruksi atas paradigma tersebut. Dan, dunia pendidikan sangat berkompeten untuk itu.

Kritik tersebut dilandasi oleh pemikiran bahwa penyelenggaraan lembaga pendidikan tinggi harus merupakan implikasi dari transformasi masyarakat, dengan harapan mampu mengadaptasi dan mengantisipasi perubahan dari masyarakat pedesaan menjadi masyarakat perkotaan, dari perekonomian lokal ke perekonomian global, dari budaya tradisional ke budaya dunia, dengan tetap mempertahankan moralitas dan etika budaya ke-Indonesia-an.

Konsekuensi di atas, mengingatkan bahwa sebuah pola pendidikan mencitrakan tersambungnya hubungan manusia dalam suatu sistem bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, dan bahkan dalam sistem masyarakat internasional, sebagai suatu sistem yang akan mampu mengisi setiap kesenjangan yang terjadi, melalui pendidikan diharapkan akan dapat mempersempit kesenjangan pada setiap dimensi. Sebagai implikasinya dengan adanya penyelenggaraan pendidikan secara benar, kesenjangan yang terjadi pada setiap dimensi dengan sendirinya akan terpautkan secara efektif, efisien dan syarat makna.

Rabu, 20 Februari 2008

diar

Allah mempergantikan malam dan siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran yang besar bagi orang-orang yang mempunyai penglihatan (QS An Nuur:44)