Hanya saja, sebuah pemahaman dan pengetahuan semata tidaklah cukup. Komitmen yang kuat, menjadi motor penggerak utama. Pasalnya, e‑government menuntut adanya change management, sebuah perubahan budaya, Bukan perkara mudah mengubah pola kerja seorang staf yang sudah puluhan tahun hanya mengandalkan kertas dengan pena dan mesin tik manual merek “brother” dalam bekerja, secara tiba‑tiba diminta menggunakan komputer. Maka persoalannya kembali lagi, ya itu tadi, tak Iuput dari pemahaman kalangan pernerintah seputar e‑government yang masih rendah.
E‑Govemment Indonesia Mencari Jati Dirinya
E‑government. Sebuah kata yang sedang bergaung di Indonesia, entah di pemerintah pusat maupun daerah. Selain bertenger di salah‑satu agenda pembangunan, yang tidak kalah seru adalah bagaimana pernerintah baik pusat maupun daerah merespon e-government. Bila e‑government dilbaratkan seorang bocah ada yang masih berbentuk bayi dalam kandungan, ada juga yang masih belajar merangkak, bahkan ada yang tengah bersiap‑bersiap untuk lari kencang. Lebih lucunya, ada bayi yang bingung hendak ke mana ia akan berjalan. (Indrajit dalam Andy Zoeltom-Faizah Rozy, 2004:5)
Memang, tidak dapat dipungkiri, sejak pernerintah menekankan pentingnya e‑government sebagai sarana untuk menuju good governance, respon yang muncul beragam. Akibatnya implementasinya juga sangat variatif. Sebut saja, Ditjen Pajak. Lembaga di bawah Departemen Keuangan ini telah menerapkan e‑government dalam bentuk Monitoring Pembayaran Pelaporan Pajak (MP3) Melalui sistem ini, setiap pembayaran pajak yang dilakukan melalui bank dan kantor pos yang ditunjuk (Bank Persepsi) akan segera dilaporkan ke Ditjen Pajak. Dengan cara kerja seperti itu, Ditjen Pajak dapat mengetahui data‑data mengenai penerimaan negara berupa pembayaran pajak secara realtime online. Sementara bagi Wajib Pajak (WP), proses pembayaran pajak jadi lebih cepat dan akurat. Sementara itu, Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (KUKM), tengah menata sistem data base UKM Selanjutya, database dijadikan pijakan untuk penerapan sistem teknologi jaringan terpadu sehingga sentra di bawah naungan mereka terkoneksi. Otomatis, terobosan ini membuat aliran dana untuk UKM bisa dipantau hingga ke penerima. Namun Jaringan ini baru mencakup sebagian sentra, belum seluruhnya.
Departeman Permukiman dan Prasarana Wilayah (Depkimpraswil) juga berbenah. Departemen yang dulu dikenal sarat KKN ini, kini menerapkan lelang semi e‑procurement. Sebagian proses lelang dilakukan melalui internet secara interaktif antara Depkimpraswil dan para pengikut lelang, dan sebagian proses lagi masih dilakukan secara tatap muka. e‑procurement membuat proses tender berjalan lebih transparan. Alhasil, cara ini diharapkan bisa mengurangi peluang KKN, mark‑up, maupun pengaturan lelang dan sejenisnya.
Bagaimana e‑government di daerah? Sejumlah daerah yang memiliki APBD berlimpah, telah membangun infrastruktur e-government secara lengkap. Sebut saja Kutai kartanegara. Kabupaten di Kalimantan ini, telah menggelontorkan dana miliaran rupiah untuk membangun Sistem Pelayanan Satu Atap. Begitu pun dengan Takalar, Semarang, Sidoharjo, dan sebagainya. Sementara Pulau Sumatera, tengah mencanangkan Sumatera Online untuk mengintegrasikan sembilan propinsi dalam satu atap.,Jawa Barat dengan web integrasinya,dan banyak lagi yang lain.
Meski sebagian instansi pemerintah dan daerah tengah memacu diri menerapkan e‑government, toh bukan berarti semuanya melakukan hal demikian. Masih banyak instansi atau daerah lain, yang masih terlelap dengan tidurnya. Tengoklah kawasan Indonesia Timur seperti NTB, NTT, dan Irian. Boleh jadi, gebyar e-government belum semarak. malahan, ada juga daerah yang belum memiliki website.
Berdasarkan data dari ICT Watch. Terdapat 468 Pernerintah Daerah (pemda) tingkat propinsi, kabupaten/kota di Indonesia, tetapi baru 214 pemda yang telah memiliki situs web sebagai tahap pertama pembangunan e‑gov Dari 214 situs tersebut, 186 buah dapat dibuka, sedangkan 28 buah sisanya tidak dapat dibuka (under construction / not found). Adapun Pemda propinsi, kabupaten/kota yang telah memiliki situs‑web
- 80%‑100% DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Jawa Timur, dan Bali
- 60%‑79% Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Kalimantan Timur
- 40%‑59% Sumatera Barat, Riau, Banten, dan Sulawesi Utara;
- 20%‑39% Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Gorontalo, dan Sulawesi Selatan
- 1%‑19% Nanggro Aceh Darussalam, Jambi, Bengkulu, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Papua, dan Maluku Utara.
- 0% Bangka Belitung, dan Maluku.
Dari gambaran potret di atas, e‑government dimaknai dari berbagai sisi. Ada yang memandang e‑government sebatas menampilkan informasi yang dapat diakses melalui media bernama internet. Ada yang telah membangun sistem informasi di internet dan melakukan layanan melalui media yang sama. Tapi ada juga yang mengimplementasikan e‑government dengan mengadakan perubahan dari segala bidang. Mulai dari kesediaan mengubah paradigma dan berani bertindak transparan. Memberikan pelayanan publik yang sebalk‑baiknya menjadi tujuan mereka. Namun ada instansi maupun pemda yang belum berbuat apa‑apa.
Bila diukur dari tahapan aplikasi e‑government, apa yang terjadi sekarang berada dalam tahapan ke berapa? Seperti diketahui, tahapan e‑government dibagi dalam empat tahapan. Pertama, present. Media internet dijadikan sarana penyampaian informasi publik secara pasif dari pemerintah kepada masyarakat. kedua, interaksi. Tahap ini sudah memungkinkan terjadinya komunikasi antara pemerintah dengan mereka yang berkepentingan melalui teknologi semacam intranet dan fasilitas multimedia. Ketiga, transaksi. Artinya interaksi dibarengi dengan sebuah transaksi yang berhubungan dengan perpindahan uang. Terakhir, adalah transformasi. Pada tahap ini, kehadiran teknologi informasi tengah mengakibatkan terjadinya perubahan atau driver change. Wujudnya telah terjadi integrasi pada level proses, data dan teknologi dan pemerintah telah membuka diri untuk semua entiti.
Nah, bila mengacu pada 4 tahapan di atas, e‑government di Indonesia masih dalam tahap pertama. Setidaknya ini diakui oleh Pakar e‑government Kominfo, Djoko Agung Harijadi. "Banyak kendala, membuat kita masih berada pada tahap webpresent saja," tandasnya. Apa yang dikatakan Djoko setidaknya juqa disokong dari hasil penelitian yang digelar Kominfo. Disebutkan bahwa hanya sebagian provinsi, kabupaten dan kota yang telah mengimplementasikan e‑government.Indikatornya, hanya 49,9% dari pemerintah provinsi, kabupaten dan kota yang memiliki website.
Selanjutnya dari prosentase tersebut, baru 21 yang melayani pembuatan KTP dan KK. Sebanyak 22 telah memberikan layanan pembuatan akta kelahiran, kematian dan perceraian. Sementara pembuatan IMB sebanyak 32 website, yang memberikan ijin usaha berjumlah 14 website, untuk tambang galian C sebanyak 7, layanan Iklan 25 website sedangkan perdagangan baru mencapai 20 website. Untuk kategori instansi pemerintah, dari 60 website yang ada, baru 12% yang memiliki perencanaan. (Sumber : Warta ekonomi 2006)
Kita Tertinggal dari Negara lain,Kenapa Tidak ?
Penerapan e‑government di Indonesia masih jauh dibandingkan dengan negara lain. Tidak usah jauh‑jauh. Singapura, misalnya. Pemerintahan Negeri Singa ini sudah memanfaatkan internet untuk penyampaian informasi. Lebih jauh lagi, pemerintah dengan dukungan warganya, sudah menggunakan dunia maya sebagai sarana untuk interaksi dan bertransaksi. Melalui program e‑government, pemerintah dapat melakukan penghematan sebesar US$40 sampai dengan US$400 per transaksi. Komitmen pemimpin nasional yang kuat menjadi salah‑satu kunci sukses Singapura dalam implemetansi e‑government. Selain itu, para pernimpin mempunyai sasaran yang jelas sehubungan apa yang hendak dicapai berikut strategi yang digunakan untuk melakukan kaji ulang tata laksana pernerintahan (reinventing the government) sehingga terjadi kejelasan jenis pelayanan publik secara online yang akan dilaksanakan. Kesiapan masyarakat Singapura untuk menyarnbut e‑government juga menjadi salah‑satu faktor penentu.
Selain Singapura, negara lain yang tercatat memiliki layanan online terbanyak adalah Amerika Serikat. Negeri Paman Sam ini, tengah fokus di sektor government to business. Artinya, tahap ke tiga sudah terlewati. Tentunya, terobosan ini sudah dibarengi dengan peraturan perundang‑undangan yang menyangkut hukum di dunia maya.
Bila dicermati, ada beberapa cara yang dilakukan government di luar negeri untuk membangun dan menerapkan e‑government. Salah satunya menempatkan pemerintah sebagai pelaku utama, atau dikenal dengan Government Leid Model. Infrastruktur teknologi dibangun oleh pemerintah. Selanjutnya, pemerintah juga bertanggung jawab untuk membentuk kebijakan sekaligus mengimplementasikannya. Langkah seperti ini dilakukan oleh Amerika dan Singapura.
Sementara cara Iain, adalah kebalikan dari langkah yang ditempuh Amerika dan Singapura. Pemerintah tidak terlibat dalam pembangunan infrastruktur. Tugas ini di‑handle oleh swasta Selanjutnya, pemerintah lebih berkonsentrasi untuk membentuk content dan kebijakan. Malaysia dan Inggris, menerapkan cara tersebut.
E-Gov di Indonesia Kendalanya banyak sekali
Sebagai warga Negara yang baik, tidak fair membandingkan antara Indonesia dengan negara‑negara tersebut. Ini mengingat bahwa e‑government di negara kita baru start lima tahun terakhir. Sementara, negara‑negara maju itu menerapkan pernerintahan secara elektronik jauh sebelumnya. Belum lagi respon masyarakat terhadap kehadiran TI sangatlah berbeda. Bagi masyarakat luar, akses internet sudah menjadi kebutuhan primer mereka sehari‑hari. Sebaliknya, masyarakat kita masih jauh dari TI kalau enggan dibilang gagap teknologi. Kesiapan masyarakat turut menjadi salah kendala.
Bila dibedah lebih mendalam, banyak kendala mengapa penerapan e‑government di Indonesia masih tertatih‑tertatih. Pertama, peraturan seputar e‑government yang masih lemah. Pemerintah baru menelurkan Inpres Presiden No. 3 tahun 2003 tentang kebijakan dan strategi pengembangan e‑government. Itu pun baru diluncurkan belum lama ini. Dari Inpres bertanggal 9 juni itu baru ada satu juklak yang diturunkan yakni standarisasi penerapan e‑government. Sementara UU Cyberlaw yang ramai diributkan hingga kini juga belum ada. Alhasil, tahapan e‑government ke tiga, yakni transaksi menjadi terhadang. Kaitan Inpres di atas, masih diperlukan Undang‑Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang dapat menjadi landasan hukum untuk setiap transaksi. RUU ITE telah selesai disampaikan oleh (Saat itu Kementerian Kominfo) Kepada Presiden melalui Sekretaris Negara untuk diagendakan pembahasan dengan Dewan Perwakilan Rakyat. RUU ITE tersebut merupakan gabungan antara RUU yang dilajukan oleh tim Fakultas Hukum Universitas Padjajaran dan tim Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Selanjutnya Kementerian Komunikasi dan Informasi akan mengeluarkan 10 dokumen tentang petunjuk pelaksanaan (Juklak) e‑gov di Indonesia. juklak tersebut untuk mendukung implementasi Inpres no. 3/2003 tentang e‑gov. Kesepuluh juklak, tersebut adalah tentang (1) standar infrastruktur portal pernerintah. (2) e‑record management, (3) standar mutu, (4) jangkauan pelayanan & pengembangan aplikasi, (5) kebijaksanaan kelernbagaan otorisasi, (6) pertukaran Informasi,keikutsertaan swasta (8) kebijakan pengembangan pernerintahan yang baik & manajemen perubahan, (9) kebijakan pendidikan, pelaksanaan proyek & penganggaran serta (10) panduan penyusunan rencana induk pengembangan e‑ lembaga. Saat ini di bawah Presiden SBY dan Kementrian Komunikasi dan Informasi berubah menjadi Departemen Komunikasi dan Informatika, mentrinya juga sudah diganti, e-gov di Indonesia belum mengalami perubahan yang signifikan.
Kedua, soal SDM. Banyak sisi SDM yang menjadi kelemahan penerapan e‑government. Yang paling menonjol adalah belum siapnya SDM di kalangan pemimpin baik di tingkat pusat maupun daerah. Ini ditandai dengan belum adanya pemahaman yang tepat mengenai esensi e‑government. Seperti diungkapkan Syamsul Mu'arif (mantan menteri Kominfo) "Membuka wacana para pemimpin ini yang paling sulit," tandasnya. Sikap seperti ini diperparah dengan pola pikir yang ego sektoral. Semuanya dilihat darl kepentingan masing‑masing lembaga pemerintah maupun pemda. Sikap seperti ini membuat ketidakharmonisan pemahaman tentang e‑government sehingga pada tataran berikutnya dapat memunculkan implementasi e‑government yang sporadis dan berdiri sendirl ‑sendiri.
Kendala lain dari sisi SDM adalah minimnya tenaga TI di pemerintahan plus kemampuan mereka yang masih rendah. Berdasarkan catatan di BPS 2005-2006, jumlah pranata komputer (SDM TI di pernerintahan) hanya 703. Dari jumlah yang tidak seberapa itu, tidak ada satu pun yang menduduki posisi tertinggi yakni PK Utama Madya. Kebanyakan dari PK masuk dalam kategori jabatan menengah ke bawah. Tidak heran, sejumlah pemda tidak bisa mengoperasikan TI lantaran tidak memiliki SDM TI yang profesional. Minminya pengetahuan seputar TI di pernerintahan kerap dimanfaatkan oleh vendor untuk menawarkan produk. Sehingga banyak sistem informasi yang dibangun menjadi terbengkali. Seperti kasus yang terjadi di Kota Padang. Sistem Informasi Kependudukan dan SIMTAP tidak bisa dijalankan, akibat Ulah vendor yang hit and run.
Ketiga, adalah ketersediaan infrastuktur. Dilihat darl akses telekomunikasi, dalam hal ini telepon, masih belum sepenuhnya ada. Dari sekitar 66.778 desa, baru 23.756 yang memiliki Jalur telepon. Artinya, baru sepertiga desa yang ter‑cover. Padahal, keberadaaan akses telekomunikasi menjadi elemen yang turut memuluskan penerapan e‑governinent. Bagaimana masyarakat mau mengakses kalau telepon belum ada. Sebaliknya, para vendor e‑government berserak di mana‑mana.
Di tengah kendala yang masih menghadang, tentunya kita tidak boleh mensikapinya dengan pesimistis. Seperti dikatakan Syamsul Muarif (Mantan Menteri Kominfo), "Kondisi yang ada harus lebih memacu kita untuk melakukan perbaikan dan melangkah ke depan." Suatu ajakan yang patut didengar oleh semua pihak. Sayang kalau hanya masuk ke kuping kanan dari ke Luar kuping kiri.
Hambatan e‑Gov di Indonesia (menurut beberapa sumber)
- Budi Rahardjo MSc. PhD (dosen ITB dan penulis buku TI)
- kultur berbagai informasi belum ada
- Kultur mendokumentasi informasi belum Lazim
- Kurangnya SDM TI yang handal di pernerintahan
- Infastruktur telekornunikas yang belum memadai (mahal dan tidak merata)
- Tempat akses informasi yang belum memadai
2. Gempar Ikka Wijaya (Jurnalis dan kolumnis TI)
- Sistern rekrutmen pegawal di Pemda yang masih tidak transparan dan belumm bebas KKN
- Banyaknva oknum pemda yang akan tersisih atau dirugikan dengan keberadaan e‑gov (masalah penghasilan luar gaji)
- Proyek Pemda terancam hanya berusia pendek yaitu 4‑5 tahun. sesuai dengan jabatan bupati/walikota maupun Gubernur
- Keterbatasan pengetahuan SDM di Pemda akan mengakibatkan banyak pihak/vendor menawarkan solusi e‑gov yang mahal tetapi kurang bermanfaat
- Infastruktur telekomunikasi yang belum memadal (mahal dan tidak merata)
- Pemda membangun sendiri‑sendiri aplikasil e‑gov menurut versi mereka. tanpa memperhatikan konsep integrasi dan interkoneksi antar Sistern informasi.
3. Manuel Diaz Rosano (Staf Kantor Pengelolaan Data Elektronik Kota Bekasi dan Pengelola Situs http://www.kotabekasi.go.id/)
- Pembangunan e‑gov terlalu mengejar pembangunan Intrastrukturnva saja. Dari pada pengembangan SDM maupun perubahan budaya
- Insentif bagi pengelola e‑gov sangat rendah, tidak sebanding, dengan pekerjaan
- Kebijakan Pemda dan DPRD yang sering beruhah‑uhah, pemahaman tentang TI yang masih rendah. keinginnan memperoleh hasil yang instan sehingga IT dianggap sebagai pemborosan
- e‑gov sering dimantaatkan oleh vendor/konsultan tertentu untuk menawarkan proyek pada pengambil kebijakan demi keuntungan sesaat dengan memanfaatkan vendor ternama sebagai tameng.
- Masalah koordinasi yang tidak pernah tuntas, masing‑masing instansi membuat sistern sendiri yang akhirnya tidak dapat diintegrasikan
- Budaya manual yang masih hinggap di birokrasi, karena terkait dengan ancaman minimnya insentif yang diterima. sehingga kornputerisasi dianggap menjadi ancaman
- kesenjangan pemahaman IT antara pimpinan dengan bawahan atau antara bupati/walikota dengan kepala dinas
- Infrastruktur telekomunikasi yang belum mendukung terutama di daerah
- Vendor/konsultan tidak serius menangani SDM, sehingga begitu selesai proyek dianggap selesai pula pekerjaannya. Akibatnva alat yang telah terpasang menjadi menganggur bahkan terkadang dikanibal untuk hal lain
- Isu e‑gov juga menjadi modus baru untuk melakukan tindak korupsi, karena nilai jasanya tidak terukur seperti pada proyek yang lain. Jika Pemerintah pusat sedang / sudah mengeluarkan standar teknisnya belum tentu haslinya bisa disamaratakan antar daerah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar