Selamat datang

Selamat memasuki Blog ini
Tuhan berikan kita banyak sekali kenikmatan, salah satunya adalah berfikir. Sebagai
rasa syukur kita kepada-Nya Blog ini dibuat,agar dapat membagi dan menerima
pemikiran banyak orang.

Rabu, 15 April 2009

komunikasi Organisasi/Pemerintahan

1 Pengertian Komunikasi
Informasi mempunyai peranan yang sangat penting didalam hidup manusia, kegiatan manusia sebagian besar dilakukan dengan berkomunikasi, tanpa melakukan komunikasi dengan manusia lainnya kegiatan manusia dapat menjadi terhenti, bahkan perkembangan peradaban manusia dewasa ini telah memasuki fase peradaban informasi. Berkat kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, masyarakat bangsa dari seluruh dunia, seolah menjadi bagian satu entitas imajiner yang tanpa batas, seolah-olah seluruh negara dimuka bumi ini lebur menjadi sebuah “negara dunia”. Kenichi Ohmae (1955: viii) mengungkapkan bahwa terdapat empat hal pada abad 21 mendatang akan scara relatif bergerak tanpa rintangan, menyebrang batas-batas negara, yakni industri, investasi, individu dan informasi.
Diera reformasi dan informasi kemampuan komunikasi menjadi faktor yang sangat strategis dalam kehidupan politik, ekonomi sosial, budaya termasuk dalam organisasi pemerintahan. Yuwono (1985): 1) mengatakan bahwa keberhasilan suatu organisasi dalam mewujudkan tercapainya tujuan organisasi secara efesien tergantung kepada berbagai macam faktor, salah satunya adalah komunikasi. Oleh karena itu diperlukan pemahaman tentang konsep komunikasi.
Dari tinjauan etimologis perkataan komunikasi berasal dari bahasa latin “communicare” yang berarti milik bersama, dimaksud disini adalah bersama dalam menggunakan informasi, sehubungan dengan pengertian diatas Lawrence dan Schram (1984: 6) berpendapat tentang komunikasi sebagai proses saling berbagi informasi atau menggunakan informasi secara bersama”.Komunikasi yang seperti yang telah diuraikan tersebut memang suatu pengertian sederhana, karena menggunakan informasi cecara bersama saja belum tentu hal itu akan berlangsung efektif.
Robbins dan Jones (1983: 11) memberikan pengertian tentang komunikasi yaitu: Komunikasi adalah suatu tingkah laku perbuatan atau kegiatan penyampaian atau pengoperan lambing-lambang yang mengandung arti atau makna. Atau perbuatan penyampaian suatu gagasan atau informasi dari seorang kepada orang lain.
Dalam pendekatan proses komunikasi terdapat beberapa model atau metode komunikasi diantaranya model komunikasi interaktif atau konvergen yang dikemukakan oleh Gonzales (dalam jahir), 1989: 17). Model iniu menganggap komunikasi sebagai suatu transaksi diantara partisipan yang setiap orang memberikan kontribusi pada transaksi itu meskipun dalam derajat yang berbeda.
Untuk memahami pengertian komunikasi sehingga dapat dilancarkan secara efektif, Harold Lasswell (Dalam depari 1978; 6) menggambarkan unsure komunikasi dalam pertanyaan-pertanyaan who (siapa) says what (pesan-pesan), In which chanel (saluran atau media) dan with what effect (efek komunikasi). Unsur-unsur komunikasi tersebut diatas selau dijumpai dalam kegiatan komunikasi.
Komunikasi itu bukan sekadar proses penyampaian informasi tetapi lebih dari itu sebagai proses penyampaian pengertian atau maksud tertentu melalui sejumlah informasi. Moore (1987: 78) menjelaskan bahwa komunikasi menunjukan suatu proses khas yang memungkinkan interaksi antar manusia dan menyebabkan individu-individu menjadi mahluk sosial.
Dari pendapat diatas, maka komunikasi dapat diartikan sebagai kegiatan penyampaian informasi dari komunikator kepada komunikan. Informasi diatas diartikan secara luas, tidak terbatas hanya pada berita atau fakta saja, melainkan juga mencakup bimbingan, opini, persuasi dan lain-lain yang dapat memberikan tambahan pengetahuan informasi yang penting bagi manusia, sehingga terdapat beberapa unsur penting yang harus diperhatikan, meliputi penyampaian pesan (massage), sarana atau media (chanel), gangguan pesan (noise) dan efek komunikasi (response).

2 Komunikasi Pemerintahan
Komunikasi mempunyai peranan asasi dalam segala aspek kehidupan manusia, masyarakat, dan negara, karena komunikasi adalah wahana utama dari kegiatan dan kehidupan manusia sehari-hari. Manusia berkomunikasi dengan sesamanya karena mereka saling membutuhkan, dan juga karena manusia hanya bisa berkembang melalui komunikasi. Komunikasi telah menjadi kepentingan vital bagi manusia sebagai individu maupun sebagai masyarakat. Masyarakat tak dapat berkembang tanpa informasi dan komunikasi. ( F. Rachmadi dalam Riyono Pratikto, 1987 : 82).
Pada mulanya komunikasi hanya terjadi pada masyarakat yang terbatas luasnya, yaitu kelompok-kelompok yang hidup berdampingan atau yang merupakan bagian dari unit politik yang sama. Selama berabad-abad, bahkan selama ribuan tahun tahun di beberapa tempat, mayoritas penduduk dunia hidup dalam batas-batas unit sosial kecil. Dengan demikian, komunikasi antarpribadi menjadi kajian utama.
Kajian Ilmu Komunikasi pada perkembangan terakhir melintasi berbagai disiplin ilmu. Sekarang kita mengenal istilah Komunikasi politik, komunikasi organisasi, komunikasi pembangunan, sosiologi komunikasi, psikologi komunikasi, dan lain-lain. Dan para pengkaji ilmu komunikasi yang memiliki minat dalam ilmu pemerintahan juga tidak ketinggalan, mereka mulai memasuki wilayah ilmu pemerintahan. Dan kemudian muncul istilah Komunikasi Pemerintahan.
Belum begitu banyak referensi yang dapat diandalkan, sebagai bahan rujukan yang membahas masalah komunikasi pemerintahan. Akan tetapi tampaknya, sebagai suatu kajian, komunikasi pemerintahan erat kaitannya dengan Komunikasi organisasi dan Komunikasi Politik. Karena memasuki wilayah organisasi dan politik, mau tidak mau dalam mengupas komunikasi pemerintahan mesti menyentuh keduanya.
Organisasi sosial terdiri atas sekumpulan orang yang terdiri atas sekumpulan orang yang memiliki hubungan yang relatif stabil di antara perseorangan dan sub kelompok. Organisasi-organisasi bervariasi dalam kejelasan hubungan itu. Hubungan pribadi dalam organisasi informal berkembang secara spontan dan berlangsung melalui pengertian bersama, aturan yang tidak diucapkan, ritual, dan tradisi. Sebaliknya, organisasi formal memiliki aturan dan pengaturan yang tegas, kedudukan di dalam organisasi yang ditetapkan dengan teliti, dan hak serta kewajiban yang ditunjukkan dengan jelas bagi para anggota. Pada umumnya, semakin rumit organisasi itu, semakin besar struktur formalnya. Jadi, organisasi yang rumit memiliki prosedur operasi standar ( SOPs, standard operation procedures) yang rinci bagi tugas-tugas spesialisasi — manajer, administrasi, teknik, dsb.— dan kriteria prestasi yang mendominasi pengangkatan, alokasi beban tugas, status, gaji dan sebagainya. ( Dan Nimmo, 1989 : 211).
Pada bagian lain Dan Nimmo menyatakan: “ Kelompok – kelompok yang lebih formal meliputi partai politik dan berbagai organisasi kepentingan khusus seperti serikat buruh, asosiasi perusahaan, pembela konsumen, organisasi hak sipil, dan koalisi kebebasan wanita. Akhirnya pada ujung yang paling formal dari kontinum ini terdapat organisasi birokratik. Kebanyakan dari apa yang harus kita katakana mengenai media organisasi menyangkut komunikasi di dalam birokrasi.” Organisasi birokratik berusaha mencapai rasionalitas, efisiensi, dan keakhlian dalam melaksanakan tugas tertentu.
Ciri-ciri organisasi formal berkaitan dengan suatu fenomena yang disebut komunikasi jabatan (posisitional communication) ( Redfield, 1953). Hubungan dibentuk antara jabatan-jabatan, bukan antara orang-orang. Keseluruhan organisasi terdiri dari jaringan jabatan. Mereka yang menduduki jabatan diharuskan berkomunikasi dengan cara yang sesuai dengan jabatan mereka. Sekalipun demikian, dalam praktik komunikasi jabatan ini membingungkan, karena tidak semua jabatan dan interaksi secara seksama sesuai dengan diagram jabatan. Bagan organisasi yang resmi tidak pernah secara lengkap menentukan perilaku dan hubungan sosial anggota organisasi. Meskipun tidak mungkin untuk sepenuhnya memisahkan suatu jabatan dari kepribadian orang yang menduduki jabatan tersebut, sering produktivitas organisasi bergantung kepada komunikasi jabatan. Kenyataan ini tidak tidak pula mengecilkan pengaruh komunikasi informal yang juga penting. Dalam setiap organisasi formal, biasanya tumbuh pula kelompok-kelompok informal. Karena hubungan informal terbentuk sebagai respons terhada berbagai kesempatan yang diciptakan lingkungan kelompok yang lebih nyata yang mempengaruhi jumlah dan pelaksanaan hubungan informal dalam organisasi ( R. Wayne Pace & Don F. Faules, 1998 : 48).
Di dalam komunikasi pemerintahan, terdapat dua tipe umum saluran komunikasi. Yang satu memudahkan komunikasi intern. Proses komunikasi birokratik internal ini memiliki tiga aspek. Pertama, orang harus memiliki informasi sebagai dasar untuk membuat keputusan. Kedua, putusan dan dasar alasannya harus disebarkan agar anggota-anggota organisasi itu melaksanakannya. Ketiga, ada saluran-saluran untuk “pembicaraan keorganisasian”, percakapan sehari-hari yang biasa dalm menjalankan pekerjaan, dan pembicaraan yang dilakukan oleh anggota-anggota dalam melaksanakan tugas setiap hari menciptakan keanggotaan yang bermakna dalam tatanan sosial yang sedang berlangsung.
Selain saluran internal, ada juga media untuk berkomunikasi secara eksternal; dalam dinas pemerintahan misalnya, misalnya, media ini mencakup saluran untuk berkomunikasi kepada warga masyarakat pada umumnya, klien kepentingan khusus, legislative, dan instansi pemerintahan yang lain.

3 Proses Komunikasi
Proses komunikasi pada dasarnya adalah proses pengoperan lambing-lambang yang mengandung arti dari satu pihak kepada pihak lain. Astrid S. Susanto (1982: 120) yang menyatakan bahwa lambing-lambang yang digunakan harus dipahami oleh komunikator maupun komunikan. Colley (dalam Effendy, 1992: 56-57) menyatakan bahwa:
Proses komunikasi adalah proses pengoperan lambing-lambang yang mengandung pengertian tertentu oleh seseorang kepada orang lain. Oleh karena proses komunikasi setidaknya meliputi:
1. Komunikator (Communicator), yakni orang yang menyampaikan atau mengatakan atau menyiarkan pesan.
2. Pesan (Message) yaitu idea, informasi, opini dan sebagainya.
3. Saluran (chanel), media) ialah alat yang dipergunakan oleh komunikator untuk menyampaikan pesan.
4. Komunikan (Audience), yaitu orang yang menerima pesan
5. Efek, yakni pengaruh kegiatan komuniukasi yang dilakukan komunikator kepada komunikan.

Schramm (dalam Effendy, 1986: 28) mengemukakan bahwa “Proses komunikasi pada hakekatnya adalah membuat sipenerima dan sipemberi sama-sama setala (tuned) untuk sesuatu pesan (message)”. Untuk membuat pesan itu setala (tuned) bagi komunikator dan komunikan dilakukan melalui proses komunikasi. Sehubungan dengan proses komunikasi ini, oleh Fisher (1986: 155) mengemukakan pendapatnya “Proses pentransformasian pesan dari satu bentuk kebentuk yang lain pada saat penerimaan (dititik tujuan) disebut dengan decoding (pengalihan sendi).
Dalam proses komunikasi yang melakukan penyandian (encoding) adalah komunikator dan kegiatan untuk pengalihan sendi (decoding) dilakukan komunikan. Dalam kaitan ini Schramm (dalam Effendy, 1986: 29) mengemukakan pendapatnya mengenai proses penyandian bahwa:
Pertama-tama sumber meng-ecode pesannya, yaitu ia mengambil informasi yang ia berikan, lalu ia tuangkan dalam bentukk yang dapat dikirimkan. Gambaran dalam otak kita (pictures in our heads) tak mungkin dapat dioverkan atau disiarkan kecuali kalau sudah di-code. Jika gambaran tadi di-code dalam kata-kata lisan, maka akan dapatlah dipindahkan dengan mudah dan efektif.

Berdasarkan uraian tadi dapat disimpulkan bahwa perumusan pesan baik dalam bentuk kata-kata lisan maupun tertulis merupakan langkah awal yang penting dan menentukan berlangsungnya komunikasi, karena dalam merumuskan pesan memerlukan kecermatan untuk memilih kata-kata yang tepat dan dapat dipahami oleh mereka. Dalam hubungan dengan penyandian ini kita lihat pendapat dari Fisher (1986: 155-156) yang menyatakan:
Satu unsur pokok dalam proses penyampaian dari model mekanistis komunikasi adalah pengertian tentang tingkat kecermatan. Dalam pengertian komunikasi, tingkatan dimana pesan itu sama pada titik salurannya (katakanlah pesan yang disandi oleh sumber pesan dan pesan yang dialih sandi oleh penerima), merupakan tingkat kecermatan dari proses penyampaian itu.

Kecermatan dalam memilih kata-kata yang tepat dalam merumuskan pesan itu penting dan menentukan agar ide-ide, gagasan-gagasan yang ada itu dapat dituangkan kedalam lambing-lambang yang bisa dimengerti oleh penerima, sehingga tidak terjadi salah penafsiran. Informasi yang disampaikan kepada komunikan harus secara jelas dan dapat dimengerti. Oleh sebab itu lambang yang dipergunakan haruslah dapat dimengerti oleh mereka yang menjadi sasaran komunikasi, ini berarti kalau menggunakan bahasa maka harus digunakan bahasa yang dapat dimengerti. Disamping itu pesan yang disampaikan oleh komunikator hendaknya dapat menimbulkan minat dan perhatian dari komunikannya.
Pesan pembangunan pada prinsipnya bersifat ideologis dan informative. Pesan ideologis adalah menyampaikan ide-ide politik yang mengarah pada suatu tindakan yang konkrit, menjelaskan ide-ide dengan tujuan untuk mengatur tindakan-tindakan bersama dan akhirnya dapat menggalakan solidaritas sosial. Sedangkan pesan informatif bersifat mendidik, langsung meningkatkan kesadaran, perhatian pengetahuan dan kemampuan baik secara individu maupun kelompok.
Selanjutnya tahapan lain yang juga diperhatikan oleh komunikator adalah memilih saluran komunikasi yang akan dipergunakan untuk menyebarkan pesannya. Sehubungan dengan saluran komunikasi ini, Edward Depari dan Colin Mac Andrews (1985: 16) menyatakan sebagai berikut: Saluran komunikasi adalah alat melalui mana sumber komunikasi menyampaikan pesan-pesan (message) kepada penerima (reseiver). Saluran ini dapat dianggap sebagai penerus/penyampai pesan yang berasal dari sumber informasi kepada tujuan informasi.
Jadi saluran komunikasi merupakan alat yang dipergunakan komunikator untuk menyampaikan/meneruskan/menyebarkan pesannya kepada penerima atau komunikan.
Berkenaan dengan pentingnya saluran ini dalam komunikasi, B. Aubray Fisher (1986: 157) mengemukakan pendapatnya bahwa:
Setiap komponen komunikasi terletak pada saluran. Para komunikator saling dihubungkan oleh adanya saluran. Dalam kenyataannya yang memungkinkan adanya hubungan atau sambungan tiap-tiap komponen komunikasi adalah saluran itu dan hanya saluran itulah yang dapat berbuat demikian. Tanpa adanya saluran, maka komponen-komponen itu akan terkatung-katung secara konseptual dalam ruang.

Dari uraian tadi jelaslah bahwa saluran komunikasi diperlukan dalam setiap kegiatan komuniasi, karena berperan untuk menghubungkan fungsi dari penyandian dengan pengalihan sandi. Saluran komunikasi ini sering juga disebut sebagai media atau sarana komunikasi. Media ini bentuknya macam-macam, seperti telepon, telegram, radio, televisi, pers, kesenian dan yang dapat menyampaikan informasi kepada pemirsanya. Dengan demikian maka komunikator dapat menggunakan media yang cocok untuk penyebaran pesannya. Dalam keperluan ini ditentukan dulu sifat dari komunikannya yaitu sebagi individu, kelompok atau berupa khalayak, setelah mengetahui sifat dari komunikan tersebut, baru komunikator menyampaikan pesannya kepada komunikan.
Pada saat prosews penyampaian pesan kepada komunikan sering mengalami gangguan, sehingga informasi ketika sampai kepada komunikan tidak seutuhnya seperti saat meninggalkan sumbernya, mengenai gangguan terhadap proses perjalanan dari pesan ini pendapat B. Aubray Fisher (1986: 156) sebagai berikut:
Adapun yang mengintervensi proses penyampaian penerimaan pesan itu dan karena berperan mengurangi tingkat kecermatan dari pesan tersebut dinamakan gangguan (noise), wajar untuk beranggapan bahwa suatu pesan yang ditransformasikan ke dalam begitu banyak variasi yang berbeda, sebagaimana yang terjadi dalam komunikasi manusia, tidak dapat dielakan lagi akan menghasilkan tingkat kecermatan yang rendah, atau dengan perkataan lain, potensi gangguan yang akan merongrong tingkat kecermatan pesan yang disampaikan itu amat tinggi, dan ada sesuatu yang pasti hilang dalam proses penterjemahan yang bersangkutan.

Dari uraian tersebut jelas bahwa gangguan pesan (noise) dalam proses penyampaian dan penerimaan pesan itu selalu ada dan tidak dapat dihindarkan, walaupun terkadang kurang nyata dirasakan oleh pihak yang berkomunikasi. Gangguan tadi dapat berasal dari penyampaian pesan atau penerima pesan atau dapat pula dari saluran komunikasi.
Salah satu dari unsur komunikasi adalah terjadinya apa yang disebut arus balik (feedback) yang merupakan efek dari komunikasi. Jika proses komunikasi berlangsung cukup lama akan terjadi arus balik dimaksud, mengenai arus balik atau yang disebut juga efek komunikasi dapat dibedakan dalam empat macam, yaitu zero feed back, positive feddback, neutral feedback dan negative feedback. Mengenai pembedaan tadi beserta maknanya oleh Raph Webb (1982: 17) dikemukakan sebagai berikut:
1. Zero feedback, yaitu feedback yang diterima komunikator dari komunikan, oleh komunikator tidak dapat dimengerti tentang apa yang dimaksud oleh komunikan.
2. Positive feedback, yaitu pesan yang dikembalikan kepada komunikator dapat dimengerti dan mendapat persetujuan, komunikan bersedia berpartisipasi memenuhi ajakan seperti yang termuat dalam pesan yang diterimanya.
3. Neutral feedback, yaitu feedback yang tidak memihak, artinya pesan yang dikembalikan kepada komunikator tidak relevan atau tidak ada hubungannya dengan masalah yang disampaikan oleh komunikator kepada komunikan.
4. Negative feedback, yaitu pesan yang dikembalikan kepadfa komunikator tidaklah mendukung atau menentang, yang berarti terjadi kertikan atau kemarahan.

Jadi jelas arus balik yang dikembalikan kepada komunikator adalah berbeda-beda. Komunikator yang berpengalaman biasanya akan memperhatikan efeknya. Dalam kaitan ini kita melihat pendapat Jalaludin Rakhmat (2000: 13) yang menguraikan bahwa komunikasi yang efektif berpengaruh pada pengertian (persepsi), kesenangan, mempengaruhi sikap, hubungan sosial yang baik dan tindakan. Sistem komunikasi interpersonal berpengaruh pada sensasi, persepsi, memori dan berpikir, sedangkan dalam komunikasi massa, efek komunikasi berpengaruh pada kognitif, afektif dan behavioral atau konatif.
Menurut Gonzales (dalam Amri Jahi, 1993: 17) “efek kognitif meliputi peningkatan kesadaran, belajar dan tambahan penetahuan. Efek afektif berhubungan dengan emosi, perasaan dan attituide (sikap) sedangkan efek konatif berhubungan dengan prilaku dan niat untuk melakukan sesuatu menurut cara tertentu. Sementara Astrid S. Susanto (1982: 121) menyatakan sikap kegiatan komunikasi bertujuan untuk mengubah dan tindakan sikap komunikan atau sekurang-kurangnya bermaksud untuk memperoleh persetujuan dan dukungan komunikan. Hanya apabila komunikasi mampu memperoleh persetujuan atau maksud komunikator, maka komunikasi dapat dikatakan berhasil. Didukung oleh pendapat dari Bintoro (1983: 34) yang menyatakan “komunikasi adalah sebagai proses mengubah prilaku orang lain”.

4 Jenis-Jenis Komunikasi
Jenis komunikasi yang diperlukan dalam proses manajemen pembangunan adalah komunikasi dari atas ke bawah, dari bawah ke atas dan komunikasi searah (Bryant dan White, 198: 172) dan Syed A Rahim (dalam Depary, 1979: 55) mengungkapkan pula bahwa jenis komunikasi dalam pembangunan berjalan secara vertical dan horizontal. Secara vertical, arus komunikasi yang berjalan dari atas ke bawah maupun dari bawah ke atas, yang berlaku relatif antar kelompok kecil anggota masyarakat yang terlibat dalan perencanaan maupun pelaksanaan program pembangunan. Sedangkan komunikasi horizontal yang terjadi umumnya banyak tergantung dari proses komunikasi vertical, dan terjadi diantara kelompok pemuka (Leading group) semata-mata. Sedangkan arus pesan (informasi) tersebut menurut Melvin De Fleur (Depari, 1978: 7) harus melakukan dua tahap:
1. Informasi berkembang melalui media (channel) kepada individu-individu yang relatif “cukup informasi” (well informed), yang pada umumnya memperoleh informasi langsung.
2. Informasi tersebut kemudian berkembang dari mereka yang cukup informasi melalui saluran komunikasi antar pribadi kepada individu/masyarakat.

Komunikasi semacam itu dikenal dengan komunikasi dua tahap, dimana individu/kelompok yang mempunyai banyak hubungan dengan sumber informasi yang lazimnya disebut “pemuka pendapat”, sebab ternyata peranan mereka besar sekali baik dalam meneruskan informasi maupun dalam menafsirkan informasi kedalam masyarakat. Dalam hubungan ini pemuka pendapat, bias dari organisasi pemerintah yang berhubungan langsung dengan masyarakat. Kemudian masyarakat akan terlibat dalam komunikasi melalui keluarga, lembaga-lembaga sosial maupun kegiatan organisasi massa lainnya.

5 Efektivitas Komunikasi
Komunikasi efektiv jika mereka yang lerlibat dalam komunikasi, selain mengerti bahasa yang dipergunakan juga mengerti makna dari isi pesan yang dikomunikasikan. Pemahaman terhadap isi pesan yang disampaikan itu penting untuk diwujudkan komunikasi yang efektif. Sedangkan dengan itu Oemi Abdurrahman (1986: 30) yang menyatakan bahwa: “Pesan (massege) yang disampaikan komunikator harus mempunyai pengertian yang sama dengan komunikan agar dapat dimengerti, sehingga komunikator akan mengetahui bagaimana respon dari komunikan terhadap komunikator”. Schramm (dalam Effendy, 1986: 18) menyatakan bahwa:
Komunikasi akan berhasil, apabila pesan yang disampaikan komunikator cocok dengan kerangka acuan (freme of reference), yakni paduan pengalaman dan pengertian (collection of experience) yang pernah diperoleh komunikan. Bidang pengalaman (field of experience) merupakan faktor yang penting dalam komunikasi. Jika bidang pengalaman komunikator sama dengan bidang pengalaman komunikan, komunikasi akan berjalan lancar. Sebaliknya bila pengalaman komunikan tidak sama dengan pengalaman komunikator akan timbul kesukaran untuk mengerti satu sama lain.

Oleh karena itu pesan agar mendapat respon harus memenuhi syarat-syarat, menurut Effendy (1986: 44), sebagai berikut:
1. Pesan harus dirancang dan disampaikan sedemikian rupa, sehingga dapat menarik perhatian sasaran yang dimaksud.
2. Pesan harus menggunakan tanda-tanda yang tertuju kepada pengalaman yang sama antar sumber dan sasaran, sehingga sama-sama dapat dimengerti.
3. Pesan harus dapat membangkitkan kebutuhan pribadi pihak sasaran dan mengarahkan beberapa cara untuk memperoleh kebutuhan tadi.
4. Pesan harus menyarankan suatu jalan untuk memperoleh kebutuhan tadi, yang layak bagi situasi kelompok dimana sasaran berbeda pada saat digerakan untuk memberikan tanggapan yang dikehendaki.

Kemudian pesan itu disampaikan melalui sarana atau media yang tepat dan meminimalkan gangguan (noise) serta memperhatikan tanggapan (respon) komunikan, sehingga mampu merealisasikan misi komunikasi.
Dari beberapa bahasan tentang komunikasi terdahulu, dapat disimpulkan dalam proses komunikasi pemerintahan, antara komunikator dengan komunikan agar berlangsung efektiv maka harus memperhatikan unsur-unsur, yaitu: penyampaian pesan-pesan (message), saluran atau media (channel), gangguan pesan (noise) dan efek komunikasi (respon). Sehingga diharapkan melalui kegiatan komunikasi pemerintahan dapat mempengaruhi sikap dan tingkat laku masyarakat atau dengan kata lain melalui upaya komunikasi dapat meningkatkan partisipasi masyarakat.

Sabtu, 11 April 2009

Pengawasan Dalam Organisasi

Dalam uaraian pengertian pengawasan ini, akan diawali dengan batasan-batasan dari pada manajemen karena pengawasan merupakan salah satu fungsi dari manajemen.
Manajemen merupakan faktor penentu keberhasilan organisasi dalam mencapai tujuan-tujunannya. Pernyataan tersebut diperjelas oleh Stoner (dalam Handoko, 1999 : 8) : Manajemen adalah proses perencanaan, pengorganisasian, pengerahan dan pengawasan usaha-usaha organisasi dan penggunaan sumber daya-sumber daya organisasi lainnya agar mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan. Dari definisi tersebut terlihat bahwa Stoner mengemukakan kata proses karena semua manajer, tanpa memperdulikan kecakapan atau keterampilan khusus mereka, harus melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu yang saling baerkaitan untuk mencapai tujuan yang mereka inginkan.
Proses manajemen yang memanfaatkan sumber daya manusia, organisasi sangat membantu peningkatan iklim kerja serta sumber-sumber lainnya. Dalam proses manajemen juga aktivitas manajerial, oleh Siagian (1997 : 136) disebutnya Manajerial Control yaitu untuk sedapat mungkin mencegah timbulnya penyimpangan-penyimpangan dan penyelewengan-penyelewengan dari rencana yang telah dirumuskan sebelumnya.
Robbin (dalam Sugandha, 1999 : 150) menyatakan pengawasan itu merupakan : The process of monitoring activities to determine wheter resources effectively and effecienthso or to accomplish their objective and where this is not being achieved, implementing corrective action. Pernyataan tersebut menunjukan bahwa pengawasan itu merupakan suatu proses aktivitas yang sangat mendasar, sehingga membutuhkan seorang manajer untuk menjalankan tugas dan pekerjaan organisasi. Oleh karena ituKertonegoro (1998 : 163) menyatakan pengawasan itu adalah proses melaui manajer berusaha memperoleh kayakinan bahwa kegiatan yang dilakuakn sesuai dengan perencanaannya. Manajer organisasi menggunakan kamampuan, kecakapan dan keterampilannya berusaha mengawasi dan menilaim aktivitas bawahannya dalam melakukan pekerjaan sehingga tujuan dan sasaran dapar dicapai dengan baik, serta terutama sekali manajer harus berusaha menemukan penyimpangan yang dilakukan bawahannya. Tindakan manajer organisasi tersebut akan membantu peningkatan displin kerja bawahannya.
Pendapat diatas tersebut menunjukan pengawasan itu seharusnya lebih menitikberatkan pada kegiatan penilaian, menerapkan perbaikan-perbaikan terhadap kegiatan yang menyimpang, harus ada tindakan memaksa terhadap pegawai yang melakukan penyimpangan dalam kerjanya, mengadakan pengaturan tindakan lebih tegas, serta meninjau kembali hasil kerja organisasi sehingga menjamin pekerjaan itun dapat berhasil dengan baik dan cermat. Hal ini ditegaskan pula oleh Terry (dalam Sujamto, 1986 : 17) :
Control is to determaine what is accomplished ecaluate it and apply corrective, if neede to insure in keeping with the plan. (Pengawasan adalah untuk menentukan apa yang telah dicapai, mengadakan evaluasi atasannya, dan mengambil tindakan-tidakan korektif bila diperlukan untuk menjamin agar hasilnya sesuai dengan rencana).

Fungsi pengawasan termasuk fungsi yang sangat penting, karena tindakan pengawasan sangat membantu mengurangi penyimpangan dan pemborosan yang dilakukan pegawai dalam organisasi sertas berusaha untuk mencari jalan pemecahannya.
Menurut Winardi (2000 : 589) fungsi pengawasan adalah sebagai berikut: Fungsi pengawasan mencakup tindakan mengimplementasikan metode-metode yang menjawab 3 (tiga) buah pertanyaan dasar yaitu :
1. Apakah hasil yang direncanakan dan yang diekspektasikan ?
2. Dengan alat-alat apakah hasil aktual dapat dibandingkan dengan hasil yang diekspektasikan ?
3. Tindakan-tindakan korektif apakah diperlukan dari orang yang diberi kekuasaan untuk itu ?

Fungsi pengawasan dapat dibagi 3 macam tipe dasar fokus aktivitas pengawasan, sebagaimana pada gambar berikut ini :
Gambar berikut melukiskan ketiga macam tipe yang dimaksud :



Gambar 2.1 Fungsi Pengawasan (Winardi, 2000 : 589)

Pengawasan pendahuluan memusatkan perhatian kepada mensegah terjadinya penyimpangan-penyimpangan pada kualitas sumber-sumber daya, sumber daya manusia harus memenuhi persyaratan teknis pekerja yang telah ditetapkan oleh struktur organisasi tersebut, setiap pegawai/karyawan harus mempunyai intelektual, kemampuan fiskal untuk melaksanakan tugas yang menjadi tanggung jawabnya, bahan-bahan harus tersedia pada waktu dan tempat yang tepat serta memnuhi standar kualitas tertentu. Pengawasan perhatian operasionalnya dilakukan terhadap hasil akhir dari suatu proses. Kemudian dilakukan tidakan korektif yang ditujukan kepada proses pembelian sumber daya atau operasi-operasi aktual. Fungsi organisasi tetap berbeda dalam batas-batas yang diijinkan. Perencanaan dan pengawasan adalah kegiatan yang saling berkaitan, dengan rencana menyediakan kerangka kerja untuk tahap pengawasan manajerial itu. Maka indikator yang dipergunakan dalam penulisan ini adalah berdasarkan (Winardi, 2000:589),bahwa dalam pengawasan diperlukan supervisi, monitoring dan evaluasi. yang pada intinya pengawasan adalah bagian dari manajemen dimana manajemen adalah proses perencanaan, pengorganisasian, pengerahan dan pengawasan usaha-usaha organisasi dan penggunaan sumber daya-sumber daya organisasi lainnya agar mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan, seperti diutarakan oleh Stoner (dalam Handoko,1999 : 8).

Iklim dan Budaya organisasi

Kata organisasi mempunyai dua pengertian umum. Handoko (1997;167) mengemukakan bahwa pengertian pertama menandakan lembaga atau kelompok fungsional, seperti organisasi perusahaan, pemerintah atau perkumpulan olah raga. Pengertian kedua berkenaan dengan proses pengorganisasian, suatu cara pembagian tugas dan fungsi para anggota agar tujuan organisasi dapat tercapai dengan efisien.
Organisasi mempunyai banyak sekali definisi. Hampir setiap disiplin ilmu meupun para praktisi membahas pengrtian organisasi ataupun mendefinisikan apa arti organisasi dari sudut pandang masing-masing. Beberapa definisi dan pengertian organisasi adalah sebagai berikut: Gibson, Ivancevich dan Donelly (1996:6) mengemukakan bahwa suatu organisasi adalah suatu unit terkoordinasi terdiri setidaknya dua orang berfungsi mencapai suatu sasaran tertentu atau serangkaian sasaran tertentu. Sejalan dengan itu Dimock (dalam Supriatna, 2000:13) mengemukakan bahwa organisasi adalah kerangka kerja dari fungsi-fungsi dan hubungan-hubungannya sebagai akit dari komunikasi dan kerjasama, peranan, pengaturan metode-metode koordinasi pada tingkat pimpinan.
Selanjutnya, penulis mengutip pengertian yang paling relevan dengan masalah yang dibahas yaitu sesuai dengan yang ditegaskan Supriatna (2000:13 dengan mengutip pendapat Dimock, sebagai berikut:
Organization is the sistematic bringing together of interdependent part of farm a unifild. Whole trought which aouthority coornination and control may be exercised to achieve a given purposes. (Organisasi adalah perpaduan secara sistematis dari bagian-bagian yang salaing tergantung/berkaitan untuk membentuk suatu kesatuan yang bulat melalui wewenang, koordinasi dan pengawasan dalam usaha mencapi tujuan yang telah ditentukan)

Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa organisasi pada hakekatnya merupakan wadah atau tempat yang menampung individu-individu dalam proses kegiatan kerjasama yang mempunyai fungsi, tugas dan wewenang, secara terpadu dan sistematis dalam pencapaian tujuan bersama yang telah ditentukan. Konsekuensi logis dari pengertian tersebut, Supriatna (2000:134) mengemukakan:
Sebagai tempat melaksanakan pekerjaan, maka pembagian tugas, tanggung jawab, hubungan dan tata kerja harus jelas. Organisasi sebagai wadah atau tempat lebih bersifat statis sedangkan sebagai proses lebih bersifat dinamis. Hal ini menunjukan bahwa faktor manusia merupakan fakt or penentu keberhasilan organisasi dalam pencapaian tujuannya.

Berangkat dari berbagai pengertian tersebut, Nisjar dan Winardi (1997:91) menyatakan:
Pada dasarnya suatu organisasi dapat dipandang sebagai suatu hal yang sedikitnya terdiri dari lima macam elemen khas, yakni:
o Manusia para pelaksana tugas-tugas
o Teknik-teknik, teknologi yang dipergunakan guna melaksanakan aneka macam tugas.
o Informasi-pengetahuan yang digunakan untuk melaksanakan aneka macam tugas-tugas
o Struktur-pengaturan tugas-tugas
o Tujuan-alasan untuk melaksanakan tugas-tugas.

Dari pernyataan di atas, telah menjadi jelas bahwa lima elemen tersebut merupakan penentu eksistensi organisasi. Agar pembahasan ini lebih runtun, penulis akan menguraikan salah satu elemen, yaitu tujuan secara lebih khusus. Hal ini dimaksudkan karena dengan diawali membahas tentang tujuan akan sampai kepada uraian tentang keterkaitannya dengan elemen-elemen lainnya.
Tujuan organisasi pada hakekatnya merupakan integrasi dari berbagai tujuan, baik bersifat komplementer yaitu tujuan individu atau anggota organisasi, maupun tujuan yang bersifat substantif, yaitu tujuan organisasi secara keseluruhan. Etzioni (dalam Handoko, 1997:109) mendefinisikan tujuan organisasi sebagai suatu pernyataan tentang keadaan yang diinginkan dan akan direalisasikan dan sebagai pernyataan tentang keadaan yang akan datang, dimana organisasi sebagai kolektifitas mencoba untuk menimbulkannya.
Konsep tujuan organisasi dipandang secara luas mempunyai beberapa fungsi penting yang bervariasi menurut waktu dan keadaan. Menurut Handoko (1997:110-111) berbagai fungsi tujuan antara lain sebagai berikut:
1. Pedoman bagi kegiatan melalui penggambaran hasil-hasil akhir diwaktu yang akan dating, tujuan berfungsi sebagai pedoman bagi kegiatan pengarahan dan pengeluaran usaha-usaha serta kegiatan-kegiatan anggota organisasi, Fungsi tujuan memberikan arah dan perintah kegiatan organisasi mengenai apa yang harus dilakukan dan harus tidak dilakukan.
2. Sumber legitimasi tujuan juga merupakan sumber legitimasi bagi organisasi melalui pembenaran kegiatannya, serta kebenarannya dikalangan kelompok-kelompok masing-masing.
3. Standar pelaksanaan. Bila tujuan dinyatakan secara jelas dan dipahami, hal ini akan memberikan standar langsung bagi pelaksanaan kegiatan (prestasi) organisasi.
4. Sumber motivasi. Tujuan organisasi dapat berfungsi sebagai motivasi dan identifikasi karyawan. Dalam hal ini memberikan insetif bagi para anggota.
5. Dasar rasional pengorganisasian. Dinyatakan secara sederhana, tujuan organisasi merupakan suatu dasar perencanaan organisasi.

Untuk memahami organisasi tidak cukup hanya dengan mempelajari tujuan organisasi, karena sangat banyak faktor yang mempengaruhi organisasi. Berdasarkan pemikiran tersebut penulis akan membahas berbagai hal tentang organisasi agar pemahaman tersebut lebih komprenhensif sebelum dilakukan pembahasan secara khusus tentang tugas pokok dan fungsi. Pada hakekatnya organisasi adalah wadah kerjasama manusia untuk mencapai tujuan. Oleh karena itu organisasi dijalankan atas berbagai prinsip. Meskipun Fayol mengatakan azasnya dengan “Principles of Organization”. (Azas-azas Organisasi). Azas-azas manajemen yang disebut sebagai azas organisasi lebih dikenal dengan sebutan 14 Azas Manajemen adalah:
1. Division of work (pembagian kerja)
2. Autority and responsibility (Wewenang dan tanggung jawab)
3. Dicipline (disiplin)
4. Unity of command (Kesatuan perintah)
5. Unity of direction (kesatuan arah)
6. Subsordination of indovidual interest to general interest (Kepentingan idividu di bawah kepentingan umum)
7. Renumeration (pay) of personal (Gaji pegawai)
8. Centralization (Sentralisasi)
9. Scalar chain (ketertiban)
10. Order (Perintah)
11. Equity (Keadilan)
12. Stability of turnure of personal (Kesatuan masa kerja pegawai)
13. Initiative (inisiatif)
14. Esprit de corp (Kesatuan jiwa corp)

Prinsip-prinsip/azas-azas organisasi tersebut menjadi petokan bagi pemimpin dan organisasi dalam berbagai hierarki yang dalam penerapannya disesuaikan dengan situasi dan kondisi serta dinamika organisasi. Dalam menjalankan prinsip-prinsip organisasi sebagai upaya meningkatkan efektivitas pencapaian tujuan organisasi. Hal tersebut akan tergantung pada kemampuan mengantisipasi perubahan-perubahan yang terjadi. Perubahan-perubahan tersebut meliputi perubahan internal maupun eksternal organisasi.

1 Manajemen
Manajemen merupakan gerak jiwa dari administrasi, organisasi sebagai anatomi dari administrasi, sedangkan manajemen sebagai psikologisnya. Di dalam organisasilah berlangsung kegiatan-kegiatan manajemen, karena manajemen juga dibutuhkan untuk semua tipe kegiatan yang diorganisasikan dan dalam semua tipe organisasi (Handoko, 1997:3). Termasuk didalamnya adalah organisasi publik. Manajemen adalah suatu kegiatan, pelaksanaan adalah managing (pengolahan), sedangkan pelaksanaannya disebut manajer atau pengelola. Dalam organisasi Publik biasanya disebut kepala, ketua, asisten, direktur ataupun deputi. Di dalam organisasi, para manajer berada dan dibai atas tiga tingkatan yang oleh Handoko (1997:17) disebut sebagai:
1) Manajer Lini – Pertama yang paling rendah yang memimpin dan mengawasi tenaga-tenaga operasional,
2) Manajer Mencegah yang membawahi dan mengarahkan kegiatan-kegiatan para manajer lainnya dan tenaga operasional, dan
3) Manajer Puncak yang merupakan kelompok kecil eksekutif yang bertanggungjawab atas keseluruhan manajemen organisasi.

Manajer (pemimpin organisasi) dalam melakukan pekerjaannya harus melaksanakan kegiatan-kegiatan yang dinamakan fungsi-fungsi manajemen. Terry dan Franklin (dalam Handoko, 1997:7-8) mengemukakan fungsi-fungsi manajemen yang terkenal dengan kata-kata “P-O-A-C” yaitu Planing (perencanaan), Organization (pengorganisasian), Actuating (menggerakan), dan Controling (pengawaasan). Atas dasar pernyataan tersebut, Handoko (1997:10) mengemukakan:
Pada dasarnya manajemen dapat didefinisikan sebagai bekerja dengan orang-orang untuk menentukan, mengintrepretasikan dan mencapai tujuan organisasi dengan pelaksaan, fungsi-fungsi perencanaan (planning), pengorganisasian (organization), penyusunan personalia atau kepemimpinan (leading) dan pengawasan (controlling).

Pelaksanaan dari fungsi-fungsi manajemen menurut para ahli tersebut sesuai urutannya disebut sebagai proses manajemen. Sesuai dedngan masalah yang dibahas dalam tesis ini, dalam hal ini adalah pengorganisasian. Handoko (1997:24) menyatakan:
Pengorgansasian (organizing) adalah 1) penentuan sumber daya dan kegiatan yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan organisasi, 2) perencanaan dan pengembangan suatu organisasi atau kelompok kerja yang akan dapat membawa hal-hal tersebut kearah tujuan, 3) pengawasan tanggung jawab dan kemudian 4) pendelegasian wewenang yang diperlukan kepada individu-individu untuk melaksanakan tugas-tugasnya. Fungsi ini menciptakan struktur formal dimana pekerjaan ditetapkan, dibagi dan dikoordinasikan.

Berdasarkan uraian tersebut, dapat penulis simpulkan bahwa pada prinsipnya pengorganisasian mengandung arti kegiatan manajer dalam mengkoordinasikan sumber-daya manusia dan material organisasi. Kekuatan suatu organisasi terletak pada kemampuannya untuk menyusun berbagai sumber dayanya dalam mencapai suatu tujuan. Semakin terkoordinasi dan teritegrasi kerja organisasi, semakin efektif pencapaian tujuan organisasi. Pengkoordinasian merupakan bagian strategi pekerjaan manajer. Selanjutnya, untuk melaksanakan proses manajemen diperlukan setidaknya tiga keterampilan, sebagaimana diajukan Handoko (1997:22), yaitu:
a. Keterampilan teknikal, mencakup kemampuan untuk menggunakan pengetahuan, metode-metode, teknik-teknik dan peralatan yang diperlukan untuk melaksanakan tugas-tugas khusus, yang diperoleh melalui pengalaman, pendidikan dan pelatihan.
b. Keterampilan bekerja dengan manusia, meliputi kemampuan dan penilaian dalam hal bekerja dengan dan melalui organisasi, termasuk di dalamnya suatu pemahaman tentang motivasi dan suatu aplikasi kepemimpinan efektif.
c. Keterampilan konseptual meliputi kemampuan untuk memahami kompleksitas organisasi secara menyeluruh dan dimana pekerjaan seseorang terpadu dengan organisasi yang bersangkutan. Pengetahuan tersebut memungkinkan seseorang bertindak sesuai dengan sasaran-sasaran organisasi total, dan bukan hanya berdasarkan landasan tujuan dan kebutuhan kelompok langsung seseorang.

Kinerja

Pemahaman Tentang Kinerja Dalam Organisasi

1. Organisasi
Kata organisasi mempunyai dua pengertian umum. Handoko (1997;167) mengemukakan bahwa pengertian pertama menandakan lembaga atau kelompok fungsional, seperti organisasi perusahaan, pemerintah atau perkumpulan olah raga. Pengertian kedua berkenaan dengan proses pengorganisasian, suatu cara pembagian tugas dan fungsi para anggota agar tujuan organisasi dapat tercapai dengan efisien.
Organisasi mempunyai banyak sekali definisi. Hampir setiap disiplin ilmu meupun para praktisi membahas pengrtian organisasi ataupun mendefinisikan apa arti organisasi dari sudut pandang masing-masing. Beberapa definisi dan pengertian organisasi adalah sebagai berikut: Gibson, Ivancevich dan Donelly (1996:6) mengemukakan bahwa suatu organisasi adalah suatu unit terkoordinasi terdiri setidaknya dua orang berfungsi mencapai suatu sasaran tertentu atau serangkaian sasaran tertentu. Sejalan dengan itu Dimock (dalam Supriatna, 2000:13) mengemukakan bahwa organisasi adalah kerangka kerja dari fungsi-fungsi dan hubungan-hubungannya sebagai akit dari komunikasi dan kerjasama, peranan, pengaturan metode-metode koordinasi pada tingkat pimpinan.
Selanjutnya, penulis mengutip pengertian yang paling relevan dengan masalah yang dibahas yaitu sesuai dengan yang ditegaskan Supriatna (2000:13 dengan mengutip pendapat Dimock, sebagai berikut:
Organization is the sistematic bringing together of interdependent part of farm a unifild. Whole trought which aouthority coornination and control may be exercised to achieve a given purposes. (Organisasi adalah perpaduan secara sistematis dari bagian-bagian yang salaing tergantung/berkaitan untuk membentuk suatu kesatuan yang bulat melalui wewenang, koordinasi dan pengawasan dalam usaha mencapi tujuan yang telah ditentukan)

Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa organisasi pada hakekatnya merupakan wadah atau tempat yang menampung individu-individu dalam proses kegiatan kerjasama yang mempunyai fungsi, tugas dan wewenang, secara terpadu dan sistematis dalam pencapaian tujuan bersama yang telah ditentukan. Konsekuensi logis dari pengertian tersebut, Supriatna (2000:134) mengemukakan:
Sebagai tempat melaksanakan pekerjaan, maka pembagian tugas, tanggung jawab, hubungan dan tata kerja harus jelas. Organisasi sebagai wadah atau tempat lebih bersifat statis sedangkan sebagai proses lebih bersifat dinamis. Hal ini menunjukan bahwa faktor manusia merupakan faktor penentu keberhasilan organisasi dalam pencapaian tujuannya.

Berangkat dari berbagai pengertian tersebut, Nisjar dan Winardi (1997:91) menyatakan:
Pada dasarnya suatu organisasi dapat dipandang sebagai suatu hal yang sedikitnya terdiri dari lima macam elemen khas, yakni:
o Manusia para pelaksana tugas-tugas
o Teknik-teknik, teknologi yang dipergunakan guna melaksanakan aneka macam tugas.
o Informasi-pengetahuan yang digunakan untuk melaksanakan aneka macam tugas-tugas
o Struktur-pengaturan tugas-tugas
o Tujuan-alasan untuk melaksanakan tugas-tugas.

Dari pernyataan di atas, telah menjadi jelas bahwa lima elemen tersebut merupakan penentu eksistensi organisasi. Agar pembahasan ini lebih runtun, penulis akan menguraikan salah satu elemen, yaitu tujuan secara lebih khusus. Hal ini dimaksudkan karena dengan diawali membahas tentang tujuan akan sampai kepada uraian tentang keterkaitannya dengan elemen-elemen lainnya.
Tujuan organisasi pada hakekatnya merupakan integrasi dari berbagai tujuan, baik bersifat komplementer yaitu tujuan individu atau anggota organisasi, maupun tujuan yang bersifat substantif, yaitu tujuan organisasi secara keseluruhan. Etzioni (dalam Handoko, 1997:109) mendefinisikan tujuan organisasi sebagai suatu pernyataan tentang keadaan yang diinginkan dan akan direalisasikan dan sebagai pernyataan tentang keadaan yang akan datang, dimana organisasi sebagai kolektifitas mencoba untuk menimbulkannya.
Konsep tujuan organisasi dipandang secara luas mempunyai beberapa fungsi penting yang bervariasi menurut waktu dan keadaan. Menurut Handoko (1997:110-111) berbagai fungsi tujuan antara lain sebagai berikut:
1. Pedoman bagi kegiatan melalui penggambaran hasil-hasil akhir diwaktu yang akan dating, tujuan berfungsi sebagai pedoman bagi kegiatan pengarahan dan pengeluaran usaha-usaha serta kegiatan-kegiatan anggota organisasi, Fungsi tujuan memberikan arah dan perintah kegiatan organisasi mengenai apa yang harus dilakukan dan harus tidak dilakukan.
2. Sumber legitimasi tujuan juga merupakan sumber legitimasi bagi organisasi melalui pembenaran kegiatannya, serta kebenarannya dikalangan kelompok-kelompok masing-masing.
3. Standar pelaksanaan. Bila tujuan dinyatakan secara jelas dan dipahami, hal ini akan memberikan standar langsung bagi pelaksanaan kegiatan (prestasi) organisasi.
4. Sumber motivasi. Tujuan organisasi dapat berfungsi sebagai motivasi dan identifikasi karyawan. Dalam hal ini memberikan insetif bagi para anggota.
5. Dasar rasional pengorganisasian. Dinyatakan secara sederhana, tujuan organisasi merupakan suatu dasar perencanaan organisasi.

Untuk memahami organisasi tidak cukup hanya dengan mempelajari tujuan organisasi, karena sangat banyak faktor yang mempengaruhi organisasi. Berdasarkan pemikiran tersebut penulis akan membahas berbagai hal tentang organisasi agar pemahaman tersebut lebih komprenhensif sebelum dilakukan pembahasan secara khusus tentang tugas pokok dan fungsi.
Pada hakekatnya organisasi adalah wadah kerjasama manusia untuk mencapai tujuan. Oleh karena itu organisasi dijalankan atas berbagai prinsip. Meskipun Fayol mengatakan azasnya dengan “Principles of Organization”. (Azas-azas Organisasi). Azas-azas manajemen yang disebut sebagai azas organisasi lebih dikenal dengan sebutan 14 Azas Manajemen adalah:
1.Division of work (pembagian kerja)
2.Autority and responsibility (Wewenang dan tanggung jawab)
3.Dicipline (disiplin)
4.Unity of command (Kesayuan perintah)
5.Unity of direction (kesatuan arah)
6.Subsordination of indovidual interest to general interest (Kepentingan idividu di bawah kepentingan umum)
7.Renumeration (pay) of personal (Gaji pegawai)
8.Centralization (Sentralisasi)
9.Scalar chain (ketertiban)
10.Order (Perintah)
11.Equity (Keadilan)
12.Stability of turnure of personal (Kesatuan masa kerja pegawai)
13.Initiative (inisiatif)
14.Esprit de corp (Kesatuan jiwa corp)

Prinsip-prinsip/azas-azas organisasi tersebut menjadi petokan bagi pemimpin dan organisasi dalam berbagai hierarki yang dalam penerapannya disesuaikan dengan situasi dan kondisi serta dinamika organisasi. Dalam menjalankan prinsip-prinsip organisasi sebagai upaya meningkatkan efektivitas pencapaian tujuan organisasi. Hal tersebut akan tergantung pada kemampuan mengantisipasi perubahan-perubahan yang terjadi. Perubahan-perubahan tersebut meliputi perubahan internal maupun eksternal organisasi.

2 Manajemen
Manajemen merupakan gerak jiwa dari administrasi, organisasi sebagai anatomi dari administrasi, sedangkan manajemen sebagai psikologisnya. Di dalam organisasilah berlangsung kegiatan-kegiatan manajemen, karena manajemen juga dibutuhkan untuk semua tipe kegiatan yang diorganisasikan dan dalam semua tipe organisasi (Handoko, 1997:3). Termasuk didalamnya adalah organisasi publik. Manajemen adalah suatu kegiatan, pelaksanaan adalah managing (pengolahan), sedangkan pelaksanaannya disebut manajer atau pengelola. Dalam organisasi Publik biasanya disebit kepala, ketua, asisten, direktur ataupun deputi.
Di dalam organisasi, para manajer berada dan dibai atas tiga tingkatan yang oleh Handoko (1997:17) disebut sebagai:
1) Manajer Lini – Pertama yang paling rendah yang memimpin dan mengawasi tenaga-tenaga operasional,
2) Manajer Mencegah yang membawahi dan mengarahkan kegiatan-kegiatan para manajer lainnya dan tenaga operasional, dan
3) Manajer Puncak yang merupakan kelompok kecil eksekutif yang bertanggungjawab atas keseluruhan manajemen organisasi.
Manajer (pemimpin organisasi) dalam melakukan pekerjaannya harus melaksanakan kegiatan-kegiatan yang dinamakan fungsi-fungsi manajemen. Terry dan Franklin (dalam Handoko, 1997:7-8) mengemukakan fungsi-fungsi manajemen yang terkenal dengan kata-kata “P-O-A-C” yaitu Planing (perencanaan), Organization (pengorganisasian), Actuating (menggerakan), dan Controling (pengawaasan). Atas dasar pernyataan tersebut, Handoko (1997:10) mengemukakan:
Pada dasarnya manajemen dapat didefinisikan sebagai bekerja dengan orang-orang untuk menentukan, mengintrepretasikan dan mencapai tujuan organisasi dengan pelaksaan, fungsi-fungsi perencanaan (planning), pengorganisasian (organization), penyusunan personalia atau kepemimpinan (leading) dan pengawasan (controlling).

Pelaksanaan dari fungsi-fungsi manajemen menurut para ahli tersebut sesuai urutannya disebut sebagai proses manajemen. Sesuai dedngan masalah yang dibahas dalam tesis ini, yaitu Optimalisasi Pelaksanaan Tugas Pokok dan Fungsi Organisasi, penulis membahas salah satu fungsi manajemen tersebut yang paling relevan, dalam hal ini adalah pengorganisasian. Handoko (1997:24) menyatakan:
Pengorgansasian (organizing) adalah 1) penentuan sumber daya dan kegiatan yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan organisasi, 2) perencanaan dan pengembangan suatu organisasi atau kelompok kerja yang akan dapat membawa hal-hal tersebut kearah tujuan, 3) pengawasan tanggung jawab dan kemudian 4) pendelegasian wewenang yang diperlukan kepada individu-individu untuk melaksanakan tugas-tugasnya. Fungsi ini menciptakan struktur formal dimana pekerjaan ditetapkan, dibagi dan dikoordinasikan.

Berdasarkan uraian tersebut, dapat penulis simpulkan bahwa pada prinsipnya pengorganisasian mengandung arti kegiatan manajer dalam mengkoordinasikan sumber-daya manusia dan material organisasi. Kekuatan suatu organisasi terletak pada kemampuannya untuk menyusun berbagai sumber dayanya dalam mencapai suatu tujuan. Semakin terkoordinasi dan teritegrasi kerja organisasi, semakin efektif pencapaian tujuan organisasi. Pengkoordinasian merupakan bagian strategi pekerjaan manajer.
Selanjutnya, untuk melaksanakan proses manajemen diperlukan setidaknya tiga keterampilan, sebagaimana diajukan Handoko (1997:22), yaitu:
a.Keterampilan teknikal, mencakup kemampuan untuk menggunakan pengetahuan, metode-metode, teknik-teknik dan peralatan yang diperlukan untuk melaksanakan tugas-tugas khusus, yang diperoleh melalui pengalaman, pendidikan dan pelatihan.
b.Keterampilan bekerja dengan manusia, meliputi kemampuan dan penilaian dalam hal bekerja dengan dan melalui organisasi, termasuk di dalamnya suatu pemahaman tentang motivasi dan suatu aplikasi kepemimpinan efektif.
c.Keterampilan konseptual meliputi kemampuan untuk memahami kompleksitas organisasi secara menyeluruh dan dimana pekerjaan seseorang terpadu dengan organisasi yang bersangkutan. Pengetahuan tersebut memungkinkan seseorang bertindak sesuai dengan sasaran-sasaran organisasi total, dan bukan hanya berdasarkan landasan tujuan dan kebutuhan kelompok langsung seseorang.

3 Produktivitas Kerja
Berbicara Tugas Pokok dan Fungsi Organisasi tidak dapat terlepas dari pembahasan tentang pengorganisasian. Sebagai suatu rangkaian dimulai dari pembahasan organisasi, manajemen, fungsi-fungsi manajemen dan pengorganisasian. Sangat jelas dapat dipahami baik secara eksplisit maupun implicit apa yang dimaksud dengan tugas pokok dan fungsi. Dari uraian-uraian terdahulu telah dibahas apa yang dimaksud dengan substansi dari tugas pokok dan fungsi tersebut. Namun demikian agar pembahasan ini semakin tajam, berikut ini penulis uraikan beberapa hal yang erat kaitannya dengan tugas pokok dan fungsi.
Tugas pokok dan fungsi organisasi berkaitan dengan efektifitas organisasi. Keefektifan didefinisakan sebagai sejauhmana sebuah organisasi mewujudkan tujuan-tujuan (Robbin, 1995:53). Melengkapi pernyataan tersebut Gibson, et.al (1996:30) mengemukakan organisasi terdiri dari efektifitas individu dan kelompok, karenanya efektifitas organisasi juga terdiri dari efektifitas individu dan kelompok. Melalui efek sinergi, organisasi mendapatkan tingkat efektifiras yang lebih tinggi disbanding penjumlahan baian-bagiannya. Jadi dapat dikatakan bahwa organisasi memperoleh tingkat prestasi yang lebih tinggi, bila dibandingkan dengan jumlah prestasi masing-masing bagiannya.
Dari penjelasan-penjelasan tersebut, jelaslah bahwa efektifitas kelompok tergantung dari efektifitas individu, efektifitas organisasi tergantung dari efektifitas individu dan kelompok. Efektieitas organisasi merupakan konsep yang sangat penting dalam teori organisasi, karene mampu memberikan gambaran mengenai keberhasilan organisasi dalam mencapai tujuannya. Ada 4 (empat) faktor yamg mempengaruhi efektifitas organisasi (Steers, 1985:9) yaitu “1) karakteristik organisasi, 2) karakteristik lingkungan, 3) karakteristik pekerja, dan 4) kebijakan dan praktek manajemen”.
Keempat variabel tersebut penulis intisarikan dari Steers sebagai berikut:
a.Karakteristik Organisasi
Menurut Steers (1985:70), yang termasuk karakteristik organisasi adalah struktur menyatakan cara organisasi mngatur sumber daya manusia bagi kegiatan-kegiatan kearah tujuan. Struktur merupakan cara yang selaras dalam menempatkan manusia sebagai bagian organisasi pada suatu hubungan yang relatif tetap. Hubungan ini sangat menentukan pola-pola interaksi, koordinasi, dan tingkah laku yang berorientasi pada tugas. Faktor yang terdapat dalam variabel struktur seperti rentang kendali, desentralisasi atau sentralisasi kewenangan, tingkat formalisasi dan koordinasi.
Komponen kedua dari karakteristik organisasi adalah teknologi organisasi. Steers (1985:83) mengatakan bahwa “dimensi teknologi memperlihatkan proses mekanisme atau intelektual, lewat mana organisasi mengubah masukan-masukan atau bahan baku menjadi keluar dalam mengejar tujuan-tujuan organisasi”. Bentuk atau kategori dali teknologi organisasi yang diajukan oleh Hickson dkk. (dalam Sreets, 1985:86) terdiri dari:
1)Teknologi operasi, yang mengutamakan teknik-teknik yang dipergunakan dalam kaitan “arus kerja” dalam sebuah organisasi (misalnya, pekerjaan tangan versus produksi massa)
2)Teknilogi bahan, yang memusatkan pada jenis-jenis bahan yang dipakai dalam arus kerja.
3)Teknologi pengetahuan, yang memusatkan perhatian pada jumlah, kualitas, tingkat kerumitan dan pemencaran informasi yang relevan bagi pengambilan keputusan dan produksi dalam organisasi.
b.Karakteristik Lingkungan
Disarikan dari Steers (1985:10, 101), bahwa karakteristik lingkungan mencakup lingkungan ekstern dan lingkungan intern. Lingkungan ekstern adalah semua kekuatan yang timbul dari batas-batas organisasi dan mempengaruhi keputusan serta tindakan dalam organisasi (contoh: kondisi ekonomi dan pasar, peraturan pemerintah). Lingkungan intern, pada umumnya dikenal sebagai iklim organisasi, meliputi macam-macam atribut lingkungan kerja (contoh: pekerja sentries, orientasi pada prestasi) yang sebelumnya telah ditujukan mempunyai hubungan dengan segi-segi tertentu dari efektifitas. Steers (1985:115) mengemukakan bahwa tinjauan pengaruh lingkungan terhadap keberhasilan organisasi memperlihatkan tiga faktor utama, yaitu: “1) tingkat keterdugaan keadaan lingkungan, 2) ketetapan persepsi terhadap keadaan lingkungan, dan 3) pengertian”.
c.Karakteristik Pekerja
Pekerja/karyawan atau pegawai adalah unsur terpenting dalam suatu organisasi. Ini membawa konsekuensi kepada para pemimpin kepada pimpinan untuk lebih dapat mengetahui keadaan pegawainya, sebab pegawai yang berlainan latar belakang dan sebagai manusia, mempunyai pandangan, tinjauan, kebutuhan, karakter dan kemampuan yang relatif berbeda dengan yang lainnya, walaupun ditempatkan dalam suatu lingkaran kerja yang sama. Berkenaan deengan karakteristik pegawai, Kazt dan Khan (dalam Steers, 1985:135), mengharuskan organisasi berusaha memenuhi tiga persyaratan prilaku penting agar mampu memastikan keberhasilan akhir, yaitu:
Pertama, setiap organisasi harus mampu membina dan mempertahankan suatu armada kerja yang mantap yang terdiri dari pekerja pria dan wanita yang terampil. Selain perekrutannya yang terseleksi, juga harus disesuaikan penempatan serta imbalan yang dapat memenuhi kebutuhan individu.
Kedua, organisasin harus dapat menikmati prestasi peranan yang dapat diandalkan dari pada pekerjanya. Dalam hal ini, setiap pegawai dituntut untuk bersedia berkarya, tetapi juga melaksanakan tugas khusus yang menjadi tanggung jawab utamanya secara profesional.
Ketiga, para pegawai harus mengusahakan bentuk tingkah laku yang spontan dan inovatif. Selain menurut pembagian tugas, juga personil tidak pasif saja, melainkan harus berinisiatif.

Persyaratan pertama di atas menghendaki tetap dibina dan diperhatikan pegawai yang ada dengan penyesuaian tugas dan keputusan kerja. Persyaratan kedua dan ketiga lebih cenderung kepada kehendak peningkatan prestasi kerja pegawai dalam organisasi, sehingga lebih efektif.
d.Kebijakan dan Praktek Manajemen
Seorang manajer atau pimpinan init maupun pimpinan puncak dalam organisasi mempunyai tanggung jawab yang sama besar terhadap keberhasilan organisasi dalam mencapai tujuannya. Pemimpin bertanggung jawab atas perencanaan, proses pelaksanaan tugas, koordinasi, evaluasi dan penilaian serta mitivasi pegawai. Beberapa variasi gaya, kebijakan dan praktek kepemimpinan dapat memudahkan atau mungkin dapat merintangi usaha pencpaian tujuan organisasi. Kajian tentang kebijakan dan praktek manajemen tersebut, memusatkan perhatian pada hal-hal yang dapat dilakukan oleh pemimpin pada semua tingkatan dalam usaha mencapai tujuan organisasi. Hal-hal dimaksudkan antara lain berupa penyusunan tujuan strategis, pencarian dan pemanfaatan sumber daya, penataan lingkungan kerja, proses komunikasi, kepemimpinan dan pengambilan keputusan (didasarkan dari Steers, 1985:11, 159, 160)

4 Kemampuan Profesional Pegawai
Perubahan yang sangat mendasar dalam organisasi pemerintahan daerah telah berpengaruh terhadap organisasi/kelembagaan pemerintahan daerah. Dampak yang sangat dirasakan bukan hanya menyangkut kepada perubahan sitem dan struktur pemerintahan daerah, akan tetapi dan terutama kepada kesiapan dan kesediaan sumber daya manusia aparatur, baik secara kuantitatif maupun kualitatif yang akan berperan dan berfungsi sebagai motor penggerak jalannya pemerintahan daerah yang kuat, efektif dan akuntabel.
Hossein (2000:27) mengemukakan bahwa sumber daya manusia aparatur yang diperlukan adalah memiliki dedikasi dan kemampuan profesional dibidangnya, juga yang memiliki dedikasi dan pengabdian kepada masyarakat. Berkaitan dengan kemampuan profesional pegawai, Sepandji (2001:29) menjelaskan tentang prinsip Profesionalime sebagai berikut:
Untuk mendukung prinsip dasar profesionalisme dapat diupayakan:
1.Sumber daya aparatur yang memiliki kapabilitas, kejuangan, keuletan, produktivitas, kreatifitas, kemitraan, efektifitas, efesiensi serta kemandirian serta inovasi, sesuai dengan etika dan moral budaya bangsa.
2.Memiliki kemampuan kompetitif atas dasar kode etik profesional dibidangnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3.menerapkan merit sistem dilingkungan birokrasi.
4.Modernisasi administrasi dan manajemen dengan mengaplikasikan teknologi telekomunikasi dan informatika yang tepat guna.
5.Mewujudkan iklim dan suasana birokrasi yang didasarkan pada team learning dan learning organization

Pembahasan mengenai kemampuan profesional pegawai yang berkaitan dengan optimalisasi tugas pokok dan fungsi organisasi birokrasi, penulis melengkapi pembahasan ini dengan uraian tentang birokrasi profesional dalam konteks teori organisasi.
Robbins (1995:315-316) menjelaskan birokrasi profesional sebagai berikut:
Birokrasi profesional adalah konfigurasi yang menggabungkan standarnisasi dengan desentralisasi, artinya organisasi mempekerjakan spesialisasi yang sangat terlatih bagi orerating corenya, sambil tetap memperoleh efesiensi dari standarisasi. Kekuatan birokrasi profesional teletak pada operating core karena desain ini mempunyai kemampuan kritis yang dibutuhkan orang dan mempunyai otonimi yang diberikan melalui desentralisasi untuk menerapkan keahlian mereka.

Selanjutnya Robbins (1995:356) menambahkan penjelasan tentang spesifikasi birikrasi profesional:
Birokrasi profesional lebih suka jika organisasi mempekerjakan kaum profesional yang sangat trampil. Birokrasi profesional mencapai tujuan yang sama seperti model Max Weber (disebut birokrasi mesin yang secara structural dicirikan oleh komplesitas yang tinggi formalisasi yang tinggi dan sentralisasi) tetapi menggantungkan diri pada desentralisasi yang sangat ekstensif dan pada penggantian formalisai elsternal dengan standaar profesional yang diinternalisasikan.

Sebagai penutup uraian ini, penulis mengutip Siagian (2000:163) bahwa yang dimaksud dengan profesionalisme adalah keandalan dalam pelaksanaan tugas, sehingga terlaksanan dengan mutu yang tinggi, waktu yang tepat, cermat dan dengan prosedur yang mudah dipahami dan diikuti. Siagian (2000:163) menambahkan bahwa berkaitan dengan hal tersebut diperlukan pengetahuan yang mendalam tentang seluk beluk tugas dengan segala implikasinya dan keterampilan yang memungkinkan pelaksana bekerja dengan baik karena dikuasainya berbagai segi teknis yang derdapat dalam setiap tugas pekerjaan.
Berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut, penulis menjadikan pendapat Sepandji dan Siagian sebagai ac (referensi) dalam menetapkan definisi dan indikator penelitian serta pengujian dan pembahasan tesis ini. Pendapat dimaksud, penulis nilai dapat memayungi sluruh indikator yang diteliti dan diuji baik yang menyangkut tingkat pengetahuan pegawai, keterampilan pegawai, kreatifitas/inovasi, kemampuan pegawai dan orientasu perkembangan Teknologi Informasi.

5 Kinerja Organisasi
Kinerja instansi pemerintah banyak menjadi sorotan akhir-akhir ini, terutama sejak timbulnya iklim yang lebih demokrasi dalam pemerintahan. Rakyat mulai mempertanyakan akan nilai yang mereka peroleh atas pelayanan yang dilakukan oleh instansi pemerintah. Di samping itu, selama ini pengukuran keberhasilan maupun kegagalan dari instansi pemerintahan dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya sulit untuk dilakukan secara obyektif.
Pengertian kinerja menurut Lembaga Administrasi Negara (dalam Supriatna, 2000:132) adalah prestasi kerja, pelaksanaan kerja, pencapaian kerja/hasil, kerja/penampilan kerja yang diterjemahkan dari performance. Sementara menurut Amstrong (dalam Supriatna, 2000:13)dalam istilah manajemen (Performance Management), kinerja dapat diartikan:
Performance managemen is a means of gettingbetter result from the organization, teams and individuals by understanding and managing. Performance with in an egreed frame work of planned goals, objectives and standard. (Manajemen kinerja berarti mendapatkan hasil yang baik dari organisasi kelompok dan perorangan lewat pengertian dan pertimbangan bersama dengan berpedoman pada suatu standar kerja).

Dari beberapa pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa kinerja adalah hasil pencapaian atau suatu prestasi kerja secara kualitas dan kuantitas yang dilaksanakan oleh kelompok dan perorangan dengan saling pengertian dan pertimbngan bersama yang berpedoman pada suatu standar kerja. Pada dasarnya manajemen yang berhail mengelola organisasi mampu menjadikan organisasi berkinerja tinggi menurut Siagian (1998:27-29) antara lain adalah sebagai berikut:
Pertama: Organisasi berkinerja tinggi mepunyai arah yang jelas untuk ditempuhnya. Arah tersebut tercermin pada visi yang dimiliki tentang mau kemana organisasi dibawa dimasa depan.
Kedua: Manajemen yang berhasil menjadikan organisasi berkinerja tinggi selalu berupaya agar dalam organisasi tersedia tenaga-tenaga berpengetahuan dan keterampilan tinggi disertai oleh semangat kewirausahaan.
Ketiga: Pada organisasi berkinerja tinggi, pada manajemennya membuat komitmen kuat pada suatu rencana aksi sratejik, yaitu rencana aksi yang diharapkan membuahkan keuntungan finansial yang memuaskan dan menempatkan organisasi pada posisi bersaing yang dapat diandalhkan.
Keempat: Orientasi organisasi berkinerja adalah “hasil” dan memiliki kesadaran yang tinggi tentang pentingnya efektifitas dan produktivitas yang meningkat.
Kelima: Adanya komitmen yang mendalam pada strategi yang telah ditentukan dan berupa agar strategi tersebut membuahkan hasil yang digharapkan.

Bagaimanakah teknik mewujudkan organisasi berkinerja tinggi ? Supriatna (2000:34) mengemukakan teknik yang sering digunakan untuk meningkatkan kinerja adalag dengan penilaian (Appraisal) Supriatna menambahkan (2000:134) penilaian kinerja adalah proses organisasi dalam mengevaluasi pelaksanaan kerja individu. Dalam kaitannya dengan organisasi (instansi pemerintah), untuk dapat menjawab pertanyaan tingggkat kinerja organisasi, maka seluruh aktifitas organisasi tersebut harus dapat diukur. Pengukuran tersebut tidak semata-mata kepada input (masukan) dari program organisasi, tetapi lebih ditekankan pada keluaran (output), proses (process), hasil/manfaat (benefit)m, dan dampak (impact) dari program organisasi tersebut bagi kesejahteraan masyarakat.
Berkaitan dengan hal tersebut, Whittaker (dalam LAN-RI, 2000:5) mengemukakan istilah lain untuk penilaian kinerja yaitu Pengukuran Kinerja. Pengukuran kinerja merupakan suatu alat manajemen yang dugunakan untuk meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dan akuntabilitas. Pengukuran kinerja juga digunakan untuk menilai pencapaian tujuan dan sasaran (goals and obyectives).
Dalam LAN RI (2000:5) dijelaskan bahwa definisi tersebut mengandung pengertian:
Pengukuran kinerja merupakan suatu metode untuk menilai kemajuan yang telah dicapai dibandingkan dengan tujuan yang telah ditetapkan. Pengukuran kinerja tidak dimaksudkan untuk berperaan sebagai mekanisme untuk memberikan penghargaan/hukuman (reward/punishment), akan tetapi pengukuran kinerja berperan sebagai alat komunikasi dan alat manajemen untuk memperbaiki kinerja organisasi.

Pengukuran kinerja dalam pemerintahan bukanlah suatu aktivitas yang baru. Setiap Departemen, Dinas Badan dan Unit kerja telah diprogramkan untum mengumpulkan informasi berupa laporan berkala (triwulan/semester/tahunan) atas pelaksanaan tugas pokok dan fungsi. Agar pokok kinerja terlaksana dengan baik, LAN RI, (2000:9) mengemukakan bahwa setiap orgasisasi harus: a) membuat komitmen untuk mengukur kinerja dan memulainya segera, b) perlakukan pengukuran kinerja sebagai peruses yang berkelanjutan (on going procsess), c) sesuaikan proses pengukuran kinerja dengan organisasi. Ukuran kinerja tersebut adalah indikator kinerja. Dengan demikian tanpa adanya indikator kinerja, sulit untuk menilai kinerja (keberhasilan atau ketidakberhasilan) kebijakan/program/kegiatan dan pada akhirnya kinerja organisasi.
Berdasarkan hal tersebut, Supriatna (2000:78) mengutip Inpres No.7 Tahun 1999 tentang AKIP mengemukakan: bahwa indikator adalah ukuran kwantitatif dan kualitatif yang menggambarkan tingkat pencapaian sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan, dengan memperhitungkan indikator masukan (inputs), keluaran (outputs) hasil (outcome) manfaat (benefit) dan dampak (impacts). Lebih jauh Supriatna (2000:178) menjelaskan pengertian-pengertian dari indikator tersebut sebagai berikut
a.Indikator masukan (inputs) adalah segala sesuatu yang dibutuhkan agar pelksanaan kegiatan dapat berjalan untuk menghasilkan keluaran. Indikator ini dapat berupa dana, sumber daya manusia, informasi, kebijakan/peraturan perundang-undang, dan sebagainya.
b.Indikator keluaran (outputs) adalah sesuatu yang diharapkan langsung dicapai dari suatu kegiatan yang dapat berupa fisik dan/atau non fisik.
c.Indikator (outcomes) adalah segala sesuatu yang mencerminkan berfungsinya keluar kegiatan pada jangka menengah (efek langsung),
d.Indikator manfaat (benefit) adalah sesuatu yang terkait dengan tujuan akhir dari pelaksanaan kegiatan
e.Indikator dampak (impacts) adalah pengaruh yang ditimbulkan baik positif maupun negatif pada setiap tingkatan indikator berdasarkan asumsi yang telah ditetapkan.

Berdasarkan pembahsan tersebut, penulis telah menguraikan secara komprehensif bahwa optimalisasi tugas pokok atau fungsi organisasi terdiri dari dimensi-dimensi: Pemahaman terhadap tugas pokok dan fungsi organisasi, kemampuan profesional pegawai dan kinerja organisasi. Untuk memahami dimensi-dimensi tersebut perlu dikaji, bergai indikator yang mempengaruhinya.

Senin, 02 Maret 2009

Manajemen Sumber Daya Manusia 01

Manajemen personalia atau Sumber Daya Manusia adalah bagian dari manajemen, yang mengandung arti secara umum bahwa faktor manusia dalam manajemen sebagai unsur yang menentukan dalam mencapai tujuan yang ingin dicapai oleh suatu organisasi atau instansi, baik swasta maupun pemerintah. Terdapat beberapa batasan manajemen yang dikemukakan oleh para ahli. Salah satunya adalah definisi yang dikemukakan oleh Stoner (dalam Handoko, 2000 : 8 ) sebagai berikut : Manajemen adalah proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan usaha-usaha para anggota organisasi dan penggunaan sumber daya-sumber daya organisasi lainnya agar mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan , sedangkan Foilet ( dalam Jusman, 2002 : 9 ) mengatakan bahwa manajemen telah diberi batasan sebagai seni untuk melaksanakan suatu pekerjaan melalui orang lain ( the art of getting things done through peapel ).
Dari beberapa batasan tentang manajemen di atas, dapat disimpulkan bahwa aktivitas dalam manajemen dalam mencapai target melalui kerja sama dengan orang lain. Seorang manajer akan berhasil mencapai tujuan, apabila ia memahami bagaimana harus melakukan kerjasama dengan orang lain. Dengan demikian, bahwa manajer mempergunakan semua sumber daya manusia organisasi, keuangannya, peralatannya dan informasi serta manusianya untuk mencapai tujuannya. Manusia merupakan sumber daya yang paling penting dari setiap organisasi, tetapi apa yang mereka bisa capai pastilah terbatas apabila manajer tidak mengandalkan sumber daya yang dimiliki organisasi bersangkutan.
Menurut Mintzberg (dalam Handoko, 2000 : 32 ) mengelompokan perilaku-perilaku manajer menjadi tiga bidang peranan : antara pribadi, informasional, dan pembuatan keputusan
Dari pendapat diatas, hubungan pribadi dinyatakan sebagai simbol melakukan tugas berdasarkan hukum dan sosial, pemimpin yang bertanggung jawab memotivasi bawahan, mengisi personalia dan pelatihan, perantara menjalin jaringan kontak luar. Sebagai pemberi informasi, manajemen memonitor kegiatan dengan mencari dan menerima informasi untuk menyatukan organisasi dan lingkungan.
Dengan demikian, tidak dapat disangkal lagi bahwa keberhasilan organisasi mencapai tujuan dan berbagai sasarannya sangat bergantung pada beberapa faktor. Siagian( 1998 :3) menyatakan antara lain :
1.Mampu tidaknya kelompok manajerial dalam organisasi menjalankan fungsi-fungsi
manajerial;
2.Tersedia tidaknya tenaga operasional yang matang secara teknik dan mempunyai
keterampilan yang sesuai dengan berbagai tuntutan tugas yang harus diselesaikannya.;
3.Tersedianya anggaran yang memadai untuk pembiayaan berbagai kegiatan yang telah
ditetapkan untuk diselenggarakan.
4.Tersedianya sarana dan prasarana kerja yang jenis, jumlah dan mutunya sesuai dengan
kebutuhan;

Manajemen menurut Winardi (1997 : 93) merupakan suatu kelompok aktivitas, atau suatu proses untuk mengkoordinir dan mengintegrasi penggunaan sumber daya guna mencapai tujuan keorganisasian ( produktivitas dan kepuasan ), melalui bantuan orang-orang, melalui teknik-teknik dan informasi, dan hal tersebut berlangsung dalam sebuah struktur yang terorganisir.
Pernyataan di atas menunjukan bahwa manajemen mencakup empat unsur yang mendasar yakni, adanya tujuan, manusia, teknik dan organisasi. Dengan demikian, manajemen mempunyai peranan utama di dalam organisasi, yang tugasnya mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan dari sub sistem-sub sistem dan menyesuaikannya dengan lingkungan. Manajemen sebagai organ masyarakat mempunyai tugas untuk mengelola sumber secara produktif.
Manajer dalam suatu organisasi harus melalui kerja sama antara orang-orang dan sumber-sumber yang besifat fisik lainnya. Manajer mengkoordinasikan dan mengintegrasikan kegiatan-kegiatan dan pekerjaan orang-orang di dalam oganisasi.
Akhir batasan tersebut adalah manajemen menyangkut pencapaian tujuan yang telah ditetapkan organisasi yang bersangkutan. Ini berarti bahwa manajer setiap organisasi yang manapun akan berusaha mencapai tujuan tertentu. Apapun tujuan yang telah ditetapkan bagi sebuah organisasi tertentu manajemen adalah proses untuk mencapai tujuan tersebut. Hasibuan ( 2001 : 1 ) mengemukakan sebagai berikut :
Manajemen hanya merupakan alat untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Manajemen yang baik akan memudahkan terwujudnya tujuan perusahaan, karyawan, dan masyarakat. Dengan manajemen, daya guna dan hasil guna unsur-unsur manajemen akan dapat ditingkatkan. Adapun unsur-unsur manajemen itu terdiri dari dari : man, money, methode, machines, meterial, dan market, disingkat 6 M

Apabila dikaji lebih lanjut, tampak bahwa kunci keberhasilan terletak pada sarana “Men” atau manusianya yang berada dibalik sarana yang lainnya. Sehingga kata-kata “ the man behind the gun “ masih menunjukan kebenarannya. Oleh karena itu, untuk memantafkan sarana “ manusia” melalui kerjasama ini sebenarnya sudah sejak lama.
Timbulnya perhatian terhadap manajemen sumber daya manusia sebagai salah satu faktornya adalah berkembangnya manajemen ilmiah. Sejak abad 20 masalah tenaga kerja sebagai faktor produksi mulai mendapat perhatian besar, sehingga pengelolaan masalah tenaga kerja mulai diperhatikan. Pengelolaan tenaga kerja disebut man power management. Istilah man power management sama dengan istilah manajemen personalia atau manajemen personalia atau manajemen sumber daya manusia.
Manajemen Sumber Daya Manusia merupakan bagian dari aktivitas manajemen umum berhubungan langsung dengan manusia, baik sebagai individu atau perorangan maupun sebagai kelompok. Aktivitas ini berjalan dalam suatu organisasi, baik organisasi sosial, organisasi pemerintahan dan sebagainya. Dalam setiap organisasi, yang menjadi persoalan pokok adalah bagaimana manusia-manusianya dapat diatur, dibina dan dikembangkan, agar apa yang menjadi tujuan organisasi tersebut dapat dicapai secara efesien dan efektif.

Manajemen Sumber Daya Manusia menurut pendapat Flippo (dalam Sedarmayanti, 2001 : 5 ) adalah perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan kegiatan-kegiatan, pengadaan, pengembangan, pemberian kompensasi, pengintegrasian, pemeliharaan dan pelepasan sumber daya manusia agar tercapai berbagai tujuan individu, organisasi dan masyarakat, sedangkan French ( dalam Handoko, 2000 : 3 ) mengatakan bahwa manajemen sumber daya manusia adalah sebagai penarikan, seleksi, pengembangan, penggunaan dan pemeliharaan sumber daya manuasia oleh organisasi.
Sedarmayanti ( 2002 : 6 ) mengartikan manajemen sumber daya manusia sebagai berikut :
Adalah seni untuk merencanakan, mengorganisasikan, mengarahkan, mengawasi kegiatan sumber daya manusia atau pegawai, dalam rangka mencapai tujuan organisasi. Akhirnya dapat disimpulkan bahwa manajemen sumber daya manusia merupakan suatu proses yang terdiri dari :
1.Rekruitmen atau penarikan sumber daya manusia
2.Seleksi sumber daya manusia
3.Pengembangan sumber daya manusia
4.Pemeliharaan sumber daya manusia
5.Penggunaan sumber daya manusia

Pengertian Manajemen Sumber Daya Manusia menurut beberapa pendapat tersebut diatas, pada hakekatnya merupakan fungsi- fungsi dari Manajemen Sumber Daya Manusia, menurut Sedarmayanti ( 2002 : 8 ) bahwa fungsi manajemen sumber daya manusia, sebagai berikut :
1. Perencanaan ( planning )
2. Pengorganisasian ( organizing )
3. Pengarahan ( directing )
4. Pengendalian ( controlling )
5. Pengadaan ( procurement )
6. Pengembangan ( development )
7. Kompensasi ( compensation )
8. Pengintegrasian ( integration )
9. Pemeliharaan ( maintenance )
10.Kedisiplinan
11.Pemberhentian ( separation )

Secara operasional fungsi manajemen sumber daya manusia terdiri dari:
1.Pengadaan, yang diartikan sebagai proses menentukan dan menyediakan kebutuhan
sumber daya manusia, yang meliputi penarikan, seleksi dan penempatan.
2.Pengembangan, yang diartikan sebagai suatu usaha yang dilakukan untuk meningkatkan
pengetahuan, keterampilan, kemampuan serta moral pegawai melalui pendidikan dan
pelatihan, sehingga pegawai tersebut dapat melaksanakan tugas sesuai kompetensi
jabatannya.
3.Kompensasi, yang diartikan sebagai balas jasa yang adil dan layak berupa uang
atau barang sesuai dengan jasa yang diberikan untuk pencapaian tujuan organisasi.
4.Integrasi, yang diartikan sebagai suatu usaha untuk menciptakan kerjasama yang
serasi dan saling menguntungkan, baik kepentingan organisasi maupun pegawai.
5.Pemeliharaan, yang diartikan sebagai suatu usaha memelihara atau meningkatkan
kondisi fisik, mental dan loyalitas pegawai agar dapat melaksanakan tiugas dengan
baik sampai dengan pensiun, yaitu dengan pemberian kesejahteraan pegawai.
6.Kedisiplinan, yang diartikan sebagai suatu upaya untuk menegakan peraturan
organisasi dan norma-norma agar ditaati dengan penuh kesadaran oleh pegawai untuk
terwujudnya tujuan organisasi.
7.Pemberhentian, yang diartikan sebagai suatu pemutusan hubungan kerja antara pegawai
dengan organisasinya, karena permohonan sendiri, kepentingan organisasi,
berakhirnya kontrak kerja, pensiun serta alasan lainnya.

Handoko ( 2000 : 6 ) mengemukakan bahwa definisi kita tentang manajemen sumberdaya manusia mengemukakan fungsi-fungsi personalia, yaitu sebagai berikut :
penarikan, seleksi, pengembangan dan penggunaan sumberdaya manusia. Dan fungsi tersebut sebagai bagian pekerjaan mereka, ada sejumlah kegiatan personalia khusus yang diterjemahkan dari berbagai fungsi itu, yang menjadi tugas manajer personalia.
Kegiatan-kegiatan personalia adalah tindakan-tindakan yang diambil untuk memberikan kepada organisasi satuan kerja yang efektip.

Rabu, 27 Februari 2008

Seputar e-gov di Indonesia

Menyimak respon dan tanggapan kalangan pernerintah seputar e‑government. Awalnya, banyak dari mereka yang tidak paham akan arti sebenarnya e‑government. Ada semacam distorsi pemaknaan. e‑government dimaknai tak lebih dari kehadiran sebuah website. Perkembangan selanjutnya, seiring perjalanan waktu, dengan banyaknya seminar dan diskusi, turunnya panduan e‑government yang menindaklanjuti Inpres No. 3/2003 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan E‑government, sedikit demi sedikit mereka mulai 'memahami'. Kecanggihan teknologi sudah sepatutnya digunakan sebagai sarana/alat/media untuk memberikan layanan publik yang berkualitas kepada masyarakat. Sehingga istilah, "kalau bisa dipersulit mengapa dipermudah" Sudah tidak zamannya lagi digunakan. Apalagi penguasa bukanlah raja, justru publiklah yang berhak ditempatkan sebagai raja yang semestinya mendapatkan pelayanan prima.

Hanya saja, sebuah pemahaman dan pengetahuan semata tidaklah cukup. Komitmen yang kuat, menjadi motor penggerak utama. Pasalnya, e‑government menuntut adanya change management, sebuah perubahan budaya, Bukan perkara mudah mengubah pola kerja seorang staf yang sudah puluhan tahun hanya mengandalkan kertas dengan pena dan mesin tik manual merek “brother” dalam bekerja, secara tiba‑tiba diminta menggunakan komputer. Maka persoalannya kembali lagi, ya itu tadi, tak Iuput dari pemahaman kalangan pernerintah seputar e‑government yang masih rendah.

E‑Govemment Indonesia Mencari Jati Dirinya
E‑government. Sebuah kata yang sedang bergaung di Indonesia, entah di pemerintah pusat maupun daerah. Selain bertenger di salah‑satu agenda pembangunan, yang tidak kalah seru adalah bagaimana pernerintah baik pusat maupun daerah merespon e­-government. Bila e‑government dilbaratkan seorang bocah ada yang masih berbentuk bayi dalam kandungan, ada juga yang masih belajar merangkak, bahkan ada yang tengah bersiap‑bersiap untuk lari kencang. Lebih lucunya, ada bayi yang bingung hendak ke mana ia akan berjalan. (Indrajit dalam Andy Zoeltom-Faizah Rozy, 2004:5)

Memang, tidak dapat dipungkiri, sejak pernerintah menekankan pentingnya e‑government sebagai sarana untuk menuju good governance, respon yang muncul beragam. Akibatnya implementasinya juga sangat variatif. Sebut saja, Ditjen Pajak. Lembaga di bawah Departemen Keuangan ini telah menerapkan e‑government dalam bentuk Monitoring Pembayaran Pelaporan Pajak (MP3) Melalui sistem ini, setiap pembayaran pajak yang dilakukan melalui bank dan kantor pos yang ditunjuk (Bank Persepsi) akan segera dilaporkan ke Ditjen Pajak. Dengan cara kerja seperti itu, Ditjen Pajak dapat mengetahui data‑data mengenai penerimaan negara berupa pembayaran pajak secara realtime online. Sementara bagi Wajib Pajak (WP), proses pembayaran pajak jadi lebih cepat dan akurat. Sementara itu, Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (KUKM), tengah menata sistem data base UKM Selanjutya, database dijadikan pijakan untuk penerapan sistem teknologi jaringan terpadu sehingga sentra di bawah naungan mereka terkoneksi. Otomatis, terobosan ini membuat aliran dana untuk UKM bisa dipantau hingga ke penerima. Namun Jaringan ini baru mencakup sebagian sentra, belum seluruhnya.

Departeman Permukiman dan Prasarana Wilayah (Depkimpraswil) juga berbenah. Departemen yang dulu dikenal sarat KKN ini, kini menerapkan lelang semi e‑procurement. Sebagian proses lelang dilakukan melalui internet secara interaktif antara Depkimpraswil dan para pengikut lelang, dan sebagian proses lagi masih dilakukan secara tatap muka. e‑procurement membuat proses tender berjalan lebih transparan. Alhasil, cara ini diharapkan bisa mengurangi peluang KKN, mark‑up, maupun pengaturan lelang dan sejenisnya.

Bagaimana e‑government di daerah? Sejumlah daerah yang memiliki APBD berlimpah, telah membangun infrastruktur e-government secara lengkap. Sebut saja Kutai kartanegara. Kabupaten di Kalimantan ini, telah menggelontorkan dana miliaran rupiah untuk membangun Sistem Pelayanan Satu Atap. Begitu pun dengan Takalar, Semarang, Sidoharjo, dan sebagainya. Sementara Pulau Sumatera, tengah mencanangkan Sumatera Online untuk mengintegrasikan sembilan propinsi dalam satu atap.,Jawa Barat dengan web integrasinya,dan banyak lagi yang lain.

Meski sebagian instansi pemerintah dan daerah tengah memacu diri menerapkan e‑government, toh bukan berarti semuanya melakukan hal demikian. Masih banyak instansi atau daerah lain, yang masih terlelap dengan tidurnya. Tengoklah kawasan Indonesia Timur seperti NTB, NTT, dan Irian. Boleh jadi, gebyar e-government belum semarak. malahan, ada juga daerah yang belum memiliki website.

Berdasarkan data dari ICT Watch. Terdapat 468 Pernerintah Daerah (pemda) tingkat propinsi, kabupaten/kota di Indonesia, tetapi baru 214 pemda yang telah memiliki situs web sebagai tahap pertama pembangunan e‑gov Dari 214 situs tersebut, 186 buah dapat dibuka, sedangkan 28 buah sisanya tidak dapat dibuka (under construction / not found). Adapun Pemda propinsi, kabupaten/kota yang telah memiliki situs‑web
  • 80%‑100% DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Jawa Timur, dan Bali
  • 60%‑79% Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Kalimantan Timur
  • 40%‑59% Sumatera Barat, Riau, Banten, dan Sulawesi Utara;
  • 20%‑39% Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Gorontalo, dan Sulawesi Selatan
  • 1%‑19% Nanggro Aceh Darussalam, Jambi, Bengkulu, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Papua, dan Maluku Utara.
  • 0% Bangka Belitung, dan Maluku.

Dari gambaran potret di atas, e‑government dimaknai dari berbagai sisi. Ada yang memandang e‑government sebatas menampilkan informasi yang dapat diakses melalui media bernama internet. Ada yang telah membangun sistem informasi di internet dan melakukan layanan melalui media yang sama. Tapi ada juga yang mengimplementasikan e‑government dengan mengadakan perubahan dari segala bidang. Mulai dari kesediaan mengubah paradigma dan berani bertindak transparan. Memberikan pelayanan publik yang sebalk‑baiknya menjadi tujuan mereka. Namun ada instansi maupun pemda yang belum berbuat apa‑apa.

e‑government di Indonesia Hanya Sebatas Ada
Bila diukur dari tahapan aplikasi e‑government, apa yang terjadi sekarang berada dalam tahapan ke berapa? Seperti diketahui, tahapan e‑government dibagi dalam empat tahapan. Pertama, present. Media internet dijadikan sarana penyampaian informasi publik secara pasif dari pemerintah kepada masyarakat. kedua, interaksi. Tahap ini sudah memungkinkan terjadinya komunikasi antara pemerintah dengan mereka yang berkepentingan melalui teknologi semacam intranet dan fasilitas multimedia. Ketiga, transaksi. Artinya interaksi dibarengi dengan sebuah transaksi yang berhubungan dengan perpindahan uang. Terakhir, adalah transformasi. Pada tahap ini, kehadiran teknologi informasi tengah mengakibatkan terjadinya perubahan atau driver change. Wujudnya telah terjadi integrasi pada level proses, data dan teknologi dan pemerintah telah membuka diri untuk semua entiti.

Nah, bila mengacu pada 4 tahapan di atas, e‑government di Indonesia masih dalam tahap pertama. Setidaknya ini diakui oleh Pakar e‑government Kominfo, Djoko Agung Harijadi. "Banyak kendala, membuat kita masih berada pada tahap webpresent saja," tandasnya. Apa yang dikatakan Djoko setidaknya juqa disokong dari hasil penelitian yang digelar Kominfo. Disebutkan bahwa hanya sebagian provinsi, kabupaten dan kota yang telah mengimplementasikan e‑government.Indikatornya, hanya 49,9% dari pemerintah provinsi, kabupaten dan kota yang memiliki website.

Selanjutnya dari prosentase tersebut, baru 21 yang melayani pembuatan KTP dan KK. Sebanyak 22 telah memberikan layanan pembuatan akta kelahiran, kematian dan perceraian. Sementara pembuatan IMB sebanyak 32 website, yang memberikan ijin usaha berjumlah 14 website, untuk tambang galian C sebanyak 7, layanan Iklan 25 website sedangkan perdagangan baru mencapai 20 website. Untuk kategori instansi pemerintah, dari 60 website yang ada, baru 12% yang memiliki perencanaan. (Sumber : Warta ekonomi 2006)


Kita Tertinggal dari Negara lain,Kenapa Tidak ?
Penerapan e‑government di Indonesia masih jauh dibandingkan dengan negara lain. Tidak usah jauh‑jauh. Singapura, misalnya. Pemerintahan Negeri Singa ini sudah memanfaatkan internet untuk penyampaian informasi. Lebih jauh lagi, pemerintah dengan dukungan warganya, sudah menggunakan dunia maya sebagai sarana untuk interaksi dan bertransaksi. Melalui program e‑government, pemerintah dapat melakukan penghematan sebesar US$40 sampai dengan US$400 per transaksi. Komitmen pemimpin nasional yang kuat menjadi salah‑satu kunci sukses Singapura dalam implemetansi e‑government. Selain itu, para pernimpin mempunyai sasaran yang jelas sehubungan apa yang hendak dicapai berikut strategi yang digunakan untuk melakukan kaji ulang tata laksana pernerintahan (reinventing the government) sehingga terjadi kejelasan jenis pelayanan publik secara online yang akan dilaksanakan. Kesiapan masyarakat Singapura untuk menyarnbut e‑government juga menjadi salah‑satu faktor penentu.

Selain Singapura, negara lain yang tercatat memiliki layanan online terbanyak adalah Amerika Serikat. Negeri Paman Sam ini, tengah fokus di sektor government to business. Artinya, tahap ke tiga sudah terlewati. Tentunya, terobosan ini sudah dibarengi dengan peraturan perundang‑undangan yang menyangkut hukum di dunia maya.

Bila dicermati, ada beberapa cara yang dilakukan government di luar negeri untuk membangun dan menerapkan e‑government. Salah satunya menempatkan pemerintah sebagai pelaku utama, atau dikenal dengan Government Leid Model. Infrastruktur teknologi dibangun oleh pemerintah. Selanjutnya, pemerintah juga bertanggung jawab untuk membentuk kebijakan sekaligus mengimplementasikannya. Langkah seperti ini dilakukan oleh Amerika dan Singapura.

Sementara cara Iain, adalah kebalikan dari langkah yang ditempuh Amerika dan Singapura. Pemerintah tidak terlibat dalam pembangunan infrastruktur. Tugas ini di‑handle oleh swasta Selanjutnya, pemerintah lebih berkonsentrasi untuk membentuk content dan kebijakan. Malaysia dan Inggris, menerapkan cara tersebut.

E-Gov di Indonesia Kendalanya banyak sekali
Sebagai warga Negara yang baik, tidak fair membandingkan antara Indonesia dengan negara‑negara tersebut. Ini mengingat bahwa e‑government di negara kita baru start lima tahun terakhir. Sementara, negara‑negara maju itu menerapkan pernerintahan secara elektronik jauh sebelumnya. Belum lagi respon masyarakat terhadap kehadiran TI sangatlah berbeda. Bagi masyarakat luar, akses internet sudah menjadi kebutuhan primer mereka sehari‑hari. Sebaliknya, masyarakat kita masih jauh dari TI kalau enggan dibilang gagap teknologi. Kesiapan masyarakat turut menjadi salah kendala.

Bila dibedah lebih mendalam, banyak kendala mengapa penerapan e‑government di Indonesia masih tertatih‑tertatih. Pertama, peraturan seputar e‑government yang masih lemah. Pemerintah baru menelurkan Inpres Presiden No. 3 tahun 2003 tentang kebijakan dan strategi pengembangan e‑government. Itu pun baru diluncurkan belum lama ini. Dari Inpres bertanggal 9 juni itu baru ada satu juklak yang diturunkan yakni standarisasi penerapan e‑government. Sementara UU Cyberlaw yang ramai diributkan hingga kini juga belum ada. Alhasil, tahapan e‑government ke tiga, yakni transaksi menjadi terhadang. Kaitan Inpres di atas, masih diperlukan Undang‑Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang dapat menjadi landasan hukum untuk setiap transaksi. RUU ITE telah selesai disampaikan oleh (Saat itu Kementerian Kominfo) Kepada Presiden melalui Sekretaris Negara untuk diagendakan pembahasan dengan Dewan Perwakilan Rakyat. RUU ITE tersebut merupakan gabungan antara RUU yang dilajukan oleh tim Fakultas Hukum Universitas Padjajaran dan tim Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Selanjutnya Kementerian Komunikasi dan Informasi akan mengeluarkan 10 dokumen tentang petunjuk pelaksanaan (Juklak) e‑gov di Indonesia. juklak tersebut untuk mendukung implementasi Inpres no. 3/2003 tentang e‑gov. Kesepuluh juklak, tersebut adalah tentang (1) standar infrastruktur portal pernerintah. (2) e‑record management, (3) standar mutu, (4) jangkauan pelayanan & pengembangan aplikasi, (5) kebijaksanaan kelernbagaan otorisasi, (6) pertukaran Informasi,keikutsertaan swasta (8) kebijakan pengembangan pernerintahan yang baik & manajemen perubahan, (9) kebijakan pendidikan, pelaksanaan proyek & penganggaran serta (10) panduan penyusunan rencana induk pengembangan e‑ lembaga. Saat ini di bawah Presiden SBY dan Kementrian Komunikasi dan Informasi berubah menjadi Departemen Komunikasi dan Informatika, mentrinya juga sudah diganti, e-gov di Indonesia belum mengalami perubahan yang signifikan.

Kedua, soal SDM. Banyak sisi SDM yang menjadi kelemahan penerapan e‑government. Yang paling menonjol adalah belum siapnya SDM di kalangan pemimpin baik di tingkat pusat maupun daerah. Ini ditandai dengan belum adanya pemahaman yang tepat mengenai esensi e‑government. Seperti diungkapkan Syamsul Mu'arif (mantan menteri Kominfo) "Membuka wacana para pemimpin ini yang paling sulit," tandasnya. Sikap seperti ini diperparah dengan pola pikir yang ego sektoral. Semuanya dilihat darl kepentingan masing‑masing lembaga pemerintah maupun pemda. Sikap seperti ini membuat ketidakharmonisan pemahaman tentang e‑government sehingga pada tataran berikutnya dapat memunculkan implementasi e‑government yang sporadis dan berdiri sendirl ‑sendiri.

Kendala lain dari sisi SDM adalah minimnya tenaga TI di pemerintahan plus kemampuan mereka yang masih rendah. Berdasarkan catatan di BPS 2005-2006, jumlah pranata komputer (SDM TI di pernerintahan) hanya 703. Dari jumlah yang tidak seberapa itu, tidak ada satu pun yang menduduki posisi tertinggi yakni PK Utama Madya. Kebanyakan dari PK masuk dalam kategori jabatan menengah ke bawah. Tidak heran, sejumlah pemda tidak bisa mengoperasikan TI lantaran tidak memiliki SDM TI yang profesional. Minminya pengetahuan seputar TI di pernerintahan kerap dimanfaatkan oleh vendor untuk menawarkan produk. Sehingga banyak sistem informasi yang dibangun menjadi terbengkali. Seperti kasus yang terjadi di Kota Padang. Sistem Informasi Kependudukan dan SIMTAP tidak bisa dijalankan, akibat Ulah vendor yang hit and run.

Ketiga, adalah ketersediaan infrastuktur. Dilihat darl akses telekomunikasi, dalam hal ini telepon, masih belum sepenuhnya ada. Dari sekitar 66.778 desa, baru 23.756 yang memiliki Jalur telepon. Artinya, baru sepertiga desa yang ter‑cover. Padahal, keberadaaan akses telekomunikasi menjadi elemen yang turut memuluskan penerapan e‑governinent. Bagaimana masyarakat mau mengakses kalau telepon belum ada. Sebaliknya, para vendor e‑government berserak di mana‑mana.

Di tengah kendala yang masih menghadang, tentunya kita tidak boleh mensikapinya dengan pesimistis. Seperti dikatakan Syamsul Muarif (Mantan Menteri Kominfo), "Kondisi yang ada harus lebih memacu kita untuk melakukan perbaikan dan melangkah ke depan." Suatu ajakan yang patut didengar oleh semua pihak. Sayang kalau hanya masuk ke kuping kanan dari ke Luar kuping kiri.

Hambatan e‑Gov di Indonesia (menurut beberapa sumber)

  1. Budi Rahardjo MSc. PhD (dosen ITB dan penulis buku TI)
  • kultur berbagai informasi belum ada
  • Kultur mendokumentasi informasi belum Lazim
  • Kurangnya SDM TI yang handal di pernerintahan
  • Infastruktur telekornunikas yang belum memadai (mahal dan tidak merata)
  • Tempat akses informasi yang belum memadai

2. Gempar Ikka Wijaya (Jurnalis dan kolumnis TI)

  • Sistern rekrutmen pegawal di Pemda yang masih tidak transparan dan belumm bebas KKN
  • Banyaknva oknum pemda yang akan tersisih atau dirugikan dengan keberadaan e‑gov (masalah penghasilan luar gaji)
  • Proyek Pemda terancam hanya berusia pendek yaitu 4‑5 tahun. sesuai dengan jabatan bupati/walikota maupun Gubernur
  • Keterbatasan pengetahuan SDM di Pemda akan mengakibatkan banyak pihak/vendor menawarkan solusi e‑gov yang mahal tetapi kurang bermanfaat
  • Infastruktur telekomunikasi yang belum memadal (mahal dan tidak merata)
  • Pemda membangun sendiri‑sendiri aplikasil e‑gov menurut versi mereka. tanpa memperhatikan konsep integrasi dan interkoneksi antar Sistern informasi.

3. Manuel Diaz Rosano (Staf Kantor Pengelolaan Data Elektronik Kota Bekasi dan Pengelola Situs http://www.kotabekasi.go.id/)

  • Pembangunan e‑gov terlalu mengejar pembangunan Intrastrukturnva saja. Dari pada pengembangan SDM maupun perubahan budaya
  • Insentif bagi pengelola e‑gov sangat rendah, tidak sebanding, dengan pekerjaan
  • Kebijakan Pemda dan DPRD yang sering beruhah‑uhah, pemahaman tentang TI yang masih rendah. keinginnan memperoleh hasil yang instan sehingga IT dianggap sebagai pemborosan
  • e‑gov sering dimantaatkan oleh vendor/konsultan tertentu untuk menawarkan proyek pada pengambil kebijakan demi keuntungan sesaat dengan memanfaatkan vendor ternama sebagai tameng.
  • Masalah koordinasi yang tidak pernah tuntas, masing‑masing instansi membuat sistern sendiri yang akhirnya tidak dapat diintegrasikan
  • Budaya manual yang masih hinggap di birokrasi, karena terkait dengan ancaman minimnya insentif yang diterima. sehingga kornputerisasi dianggap menjadi ancaman
  • kesenjangan pemahaman IT antara pimpinan dengan bawahan atau antara bupati/walikota dengan kepala dinas
  • Infrastruktur telekomunikasi yang belum mendukung terutama di daerah
  • Vendor/konsultan tidak serius menangani SDM, sehingga begitu selesai proyek dianggap selesai pula pekerjaannya. Akibatnva alat yang telah terpasang menjadi menganggur bahkan terkadang dikanibal untuk hal lain
  • Isu e‑gov juga menjadi modus baru untuk melakukan tindak korupsi, karena nilai jasanya tidak terukur seperti pada proyek yang lain. Jika Pemerintah pusat sedang / sudah mengeluarkan standar teknisnya belum tentu haslinya bisa disamaratakan antar daerah

SUMBERDAYA MANUSIA DALAM PELAKSANAAN E-GOV

Diar Cahdiar
27 Februari 2007
Latar Belakang
Mitos abad 21 sebagai momentum perubahan dunia semakin empirik. Seluruh bangsa makin terdorong untuk mengambil bagian dalam percaturan global, karena itu penyesuaian-penyesuaian secara kultural maupun struktural setiap bangsa menjadi suatu konsekuensi logis yang tak terelakkan. Secara struktural, ini bisa terlihat dari implikasi berubahnya sistem politik karena demokrasi dan hak azasi manusia sudah menjadi isu global. Kontrol dunia atas pelaksanaan kedua isu tersebut semakin ketat. Sementara itu, budaya global juga mulai terbentuk melalui dominasi budaya Barat yang penuh nuansa materialisme. Transmisi budaya materialisme yang dipercepat dengan revolusi teknologi informasi merupakan kenyataan yang tak terhindarkan.

Dalam era ini, tidak bisa dihindarkan bahwa audit pemerintahan menjadi suatu dimensi global. Sehingga ini sering dinamakan era globalisasi. Maksudnya, bahwa dunia (globe) kita ini sudah menjadi satu sistem yang saling terkait, yang tidak terpisah-pisahkan oleh batas politik, geografi, ekonomi dan sebagainya.

Dinamika zaman dalam konteks kekinian tercitrakan melalui kemajuan teknologi informasi dan globalisasi, yang membawa konsekuensi logis akan terciptanya suatu percepatan lalu lintas produk informasi yang secara signifikan akan berpengaruh terhadap sikap mental suatu bangsa, karena itu eksistensi bangsa akan sangat tergantung dari sikap dan kepribadian bangsanya. Pemerintah daerah sebagai salah satu sub-sistem dari sistem dan totalitas masyarakat bangsa Indonesia dituntut untuk senantiasa harus bersifat korektif dan proaktif dalam melihat posisi dirinya secara jujur di tengah-tengah masyarakat yang senantiasa mengalami perubahan. Dengan demikian kehadiran pemerintah daerah dapat menjadi faktor positif dan dominan dalam setiap proses perubahan dan perkembangan masyarakat. Dalam hal ini, pemerintah daerah ditantang untuk dapat mengambil peran dan melaksanakan aktivitasnya yang paralel dengan dinamika masyarakat dan tuntutan zaman.

Teknologi Informasi telah memberikan jalan baru pada banyak hal, baik dalam ruang lingkup bisnis, administrasi pemerintahan, perilaku masyarakat, dan bidang lainnya. Pesatnya kemajuan teknologi, khususnya teknologi informasi dan komunikasi (TIK), telah banyak mengubah paradigma pelayanan publik konvensional yang berskala lokal/nasional menjadi sistem global. Salah satu implementasi TIK untuk mendukung pemerintah dalam menjalankan fungsi kepemerintahannya adalah e-government. e-government ini merupakan pintu bagi pemerintah memasuki dunia gobal.

Karenanya, pintu yang dibuka oleh globalisasi memaksa pemerintah main ”fair”. Hal itu dengan sendirinya akan mendesak pemerintah memakai cara terbuka pula. Pintu itu menjadi pintu persaudaraan, tetapi sekaligus juga pintu kontrol atas pemerintah. Pintu semacam itu dapat menguntungkan pemerintah, dapat pula mengancam pemerintah. Namun pemerintah tidak dapat mengingkari keharusan untuk membuka pintu penyelenggaraan pemerintahan, apabila tidak mau menjadi "katak dalam tempurung" pergaulan internasional.

Tampaknya dari sejumlah hal-hal yang kritis di Indonesia tentang pergumulannya di era global adalah bahwa implementasi sejumlah teknologi informasi bisa malah merugikan. Asumsi ini bisa masuk akal bila tak ada perbaikan dalam infrastruktur dan peraturan-peraturan lokal. Kecemasan seperti itu memang tidak bisa dihindari karena selain perlu kesiapan mental tetapi lebih penting lagi kesiapan aparatur pemerintah yang mengendalikan e-government sehingga tidak malah merusak dan membuat penderitaan masyarakat yang tidak mengenal teknologi informasi.


Pengembangan Sumberdaya Manusia Era E-Government
Realitas abad 21 yang demikian membawa sejumlah implikasi bagi dunia pemerintahan. Ini karena pemerintah yang bertugas menjadi pengayom masyarakat diniscayakan untuk senantiasa melakukan perbaikan-perbaikan sumberdaya secara komprehensif. Salah satu pendekatan kritis dan strategis untuk memasuki era globalisasi ini melalui peningkatan sumberdaya manusia.

Dalam kerangka globalisasi, penyiapan pendidikan juga perlu disinergikan dengan tuntutan kompetisi. Karena itu, dimensi daya saing dalam sumberdaya manusia kelak semakin menjadi faktor penting sehingga upaya memacu kualitas sumberdaya manusia melalui pendidikan merupakan tuntutan yang harus dikedepankan. Ini patut diperhatikan, karena menurut World Competitiveness Report daya saing sumberdaya manusia Indonesia terpuruk pada urutan ke-45, di bawah Singapura (8), Malaysia (34), Cina (35), Filipina (38), dan Thailand (40). Padahal negara-negara tersebut merupakan kompetitor potensial kita kelak, sejalan adanya anggapan bahwa Asia Timur dan Tenggara akan menjadi kekuatan dunia.

Kesiapan sumberdaya manusia di pemerintahan untuk secara konsekuen dan komitmen penuh untuk menjalankan dan mensukseskan e-government untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemerintahan merupakan faktor terpenting dari kesuksesan implementasi e-government. Tanpa kesiapan sumberdaya manusia di kalangan pemerintahan maka penyelenggaraan e-government akan berakhir dengan kegagalan. Untuk itu sebelum implementasi e-government perlu ditumbuhkan kesadaran dalam diri sumberdaya manusia pemerintah akan arti pentingnya implementasi e-government.

Karena itu, sumberdaya manusia pemerintah dalam menjalani era globalisasi harus disiapkan sejak dini, sehingga dapat memecahkan problem-problem teknologi yang sebenarnya merupakan akumulasi dari ketertingggalan teknologi bangsa ini pada abad 20. Problem yang bersumber dari gagap teknologi itu telah menyebabkan munculnya masyarakat yang teralienasi, gejala anomie, serta produk IPTEK yang mendestruksi tatanan kehidupan.

Dalam konteks ini, pemerintah daerah perlu mengorientasikan pemberdayaan sumberdaya manusianya pada pengembangan kualitas sumberdaya manusia dengan mencermati pelbagai prespektif, kecenderungan dan isu-isu berdimensi lokal, nasional, regional dan global. Pergerakan roda transformasi ini, tentunya, disertai keawasan visi, ketepatan, kejelian dan kecermatan serta kearifan memahami rancangan isyarat-isyarat zaman. Sehingga, ketika pemerintah daerah meracik visi, interpretasi, persepsi dan orientasi yang ditindaklanjuti melalui kebijakan publik melahirkan sikap pro-aktif, kritis, kreatif dan inovatif untuk membuka kesempatan baru dari setiap dinamika zaman.

Pemerintah perlu secara agresif untuk membudidayakan berbagai teknologi tinggi yang bernilai strategis di masa depan. Walaupun teknologi-teknologi tersebut perlu digarap secara aktif dengan dukungan personel dan dana yang tidak kecil. Penguasaan teknologi mutakhir di masa depan adalah upaya yang luar biasa dan ambisius. Namun, hal itu tidak ada salahnya, karena teknologi-teknologi tersebut layaknya akan menjadi pilar-pilar kejayaan bangsa. Pertanyaan yang sering dilontarkan oleh masyarakat adalah apakah proses itu efektif dan efisien. Efektif artinya memiliki sistem kontrol yang cukup sehingga tujuan besar dan ambisius itu pada akhirnya dapat tercapai. Efisien artinya apakah proses pertumbuhannya cost-effective, kompetitif, dan dapat segera memberikan keuntungan.

Berkaitan dengan hal ini, maka Pemerintah Daerah dituntut untuk mencetak sumberdaya manusia unggul yang bertugas mengkonstruk ilmu pengetahuan dan teknologi yang secara empirik terbukti sebagai kekuatan bagi efektiftivitas, efisiensi, dan produktiftivitas dalam konstruksi pemerintah sebagai pelayan publik.


Peran Pendidikan Tinggi
Pendidikan sangat signifikan terhadap rekonstruksi peradaban abad 21, mengingat pendidikanlah yang akan membentuk karakter sumberdaya manusia yang akan hidup dan berperan pada abad 21. Pendidikan merupakan kegiatan investasi sumberdaya manusia untuk menopang dan mengusung pembangunan, karena bagaimanapun pembangunan membutuhkan kualitas sumberdaya manusia yang unggul baik dalam kapasitas penguasaan IPTEK maupun sikap mental sehingga dapat menjadi subyek atau pelaku pembangunan ekonomi yang andal.

Dalam pada itu, timbulnya kesadaran akan pesatnya tingkat perkembangan iptek, makin singkatnya waktu pelipatgandaan informasi keilmuan dan teknologi, makin berkembangnya paradigma dalam ilmu-ilmu kemanusiaan guna menilai pemaknaan dan fungsi ilmu pengetahuan dan teknologi, dan bahkan makin derasnya arus globalisasi yang membawa pluralisme nilai-nilai, yang pada akhirnya mendorong terhadap penataan pola pendidikan yang terkonsepsi secara lebih jelas dan jernih, baik yang berkaitan dengan filosofi referensinya, substansi, etika, metodologi, sasaran, sistem dan mekanismenya maupun penelitian dan pengembangannya.

Kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut perlu diantisipasi secara nyata dalam kurun waktu mendatang dan direncanakan secara mantap untuk menghadapi perubahan berikutnya. Cepatnya pelipatgandaan informasi keilmuan yang akan terjadi di awal abad baru ini akan menyebabkan program-program pendidikan akan cepat kadaluarsa dan menjadi hambatan serta tantangan besar bagi lembaga pendidikan tinggi yang sedang berkembang. Dengan demikian pendidikan tinggi harus dapat berkembang seiring dan sejalan dengan kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di dunia.

Dalam menghadapi era globalisasi yang penuh dengan berbagai peluang, tantangan dan ancaman, maka harus dihadapi dengan peningkatan sumberdaya manusia yang mempunyai keuletan, efisiensi, ketahanan mental, dalam konteks peningkatan kerja dan kinerja keilmuan maupun profesionalismenya. Semua potensi itu harus digerakkan secara utuh, menyeluruh dan tepadu dengan konsepsi yang matang dengan dilandasi kemandirian. Karena itu perlu dikembangkan suatu format pendidikan yang mampu mengintegrasikan antara ilmu keagamaan, teknologi, bisnis dan ilmu-ilmu kemanusiaan.

Pentingnya perguruan tinggi sebagai pusat pemikiran dan pengkajian ilmu pengetahuan dan teknologi akan menjadi lebih menonjol terutama setelah disadari banyaknya fenomena aktual yang baru saja terjadi namun belum mampu dijelaskan secara komprehensif. Banyaknya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dipahami memungkinkan pendidikan tinggi dapat melihat jauh ke depan dan turut membentuk masa depan, sekalipun akan lebih banyak lagi fenomena baru yang muncul yang perlu dimengerti seluk-beluknya.

Namun, nampaknya di dunia pendidikan Indonesia sosialisasi etika masih bersifat parsial dan ambivalen. Di satu sisi diajarkan etika melalui pelajaran agama dan Pendidikan Pancasila, di sisi lain pengajaran IPTEK lainnya lepas dari konteks etika tersebut. Pemisahan dunia "etika" dan "rasional" ini dapat menjadi bentuk "sekulerisme baru" yang nampaknya belum disadari. Oleh karena itu, dalam merekonstruksi peradaban yang beretika perlu upaya dekonstruksi IPTEK yang kemudian diikuti dengan rekonstruksi paradigma pengembangan IPTEK yang kembali menjunjung tinggi etika.

Dalam rangka modernisasi bangsa-bangsa di dunia, konstruksi IPTEK yang demikian telah lepas dari kritik epistemologis. Artinya, IPTEK yang diproduksi diterima dan dipraktekkan begitu saja demi "kemajuan", tanpa sikap kritis terhadap landasan epistemologi maupun dampak "kemajuan" tersebut. IPTEK telah dianggap netral dan bebas nilai. Paradigma IPTEK ala positivisme ini telah mengabaikan dimensi etika dan moral dalam konstruksi IPTEK. Dan, ternyata paradigma yang demikian cukup kental di dunia pendidikan kita dan belum ada langkah sistematis untuk melakukan dekonstruksi atas paradigma tersebut. Dan, dunia pendidikan sangat berkompeten untuk itu.

Kritik tersebut dilandasi oleh pemikiran bahwa penyelenggaraan lembaga pendidikan tinggi harus merupakan implikasi dari transformasi masyarakat, dengan harapan mampu mengadaptasi dan mengantisipasi perubahan dari masyarakat pedesaan menjadi masyarakat perkotaan, dari perekonomian lokal ke perekonomian global, dari budaya tradisional ke budaya dunia, dengan tetap mempertahankan moralitas dan etika budaya ke-Indonesia-an.

Konsekuensi di atas, mengingatkan bahwa sebuah pola pendidikan mencitrakan tersambungnya hubungan manusia dalam suatu sistem bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, dan bahkan dalam sistem masyarakat internasional, sebagai suatu sistem yang akan mampu mengisi setiap kesenjangan yang terjadi, melalui pendidikan diharapkan akan dapat mempersempit kesenjangan pada setiap dimensi. Sebagai implikasinya dengan adanya penyelenggaraan pendidikan secara benar, kesenjangan yang terjadi pada setiap dimensi dengan sendirinya akan terpautkan secara efektif, efisien dan syarat makna.